Rabu 03 Jul 2024 12:55 WIB

Cerita di Balik Kopi Gucialit, Gagas Menabung Kopi dan Prinsip 'Sak Dedeg Sak Pengawe'

Nur mulai merintis dengan peralatan seadanya, berbekal alat grinding manual.

Red: Fernan Rahadi
Pemilik Kopi Gucialit, Nur Kholifah
Foto: dokpri
Pemilik Kopi Gucialit, Nur Kholifah

REJOGJA.CO.ID, LUMAJANG -- Sejak kecil, Nur Kholifah (32) sudah diajak kakek neneknya ke kebun kopi. Dari situ, kecintaan Nur pada kopi bertumbuh, hingga ia punya mimpi ingin membawa produk kopi Gucialit semakin dikenal, dan petani lebih sejahtera. Gucialit adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, kampung halaman Nur.

Selama enam tahun terakhir, bersama sang suami, Rifqi Zulkarnain Masruri (32), Nur mulai fokus terjun langsung bermitra dengan para petani. Lahirlah produk kopi dengan merek 'Kopi Gucialit'. Dari berproduksi di sebuah tempat bekas bengkel, kini Kopi Gucialit memiliki rumah produksi sendiri yang diberi nama 'Bale Kopi Gucialit'.

Ia menggagas program Menabung Kopi yang dirasakan manfaatnya oleh para petani kopi mitra Kopi Gucialit. Berbagai penghargaan diraih. Terbaru, Nur terpilih sebagai salah satu dari 20 peserta Women Ecosystem Catalyst. WEC merupakan program yang digagas PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia” bersama Perkumpulan Imajinasi Penaja Mula dan Dinas Koperasi UKM Provinsi Jawa Tengah.

Keputusan membangun usaha Kopi Gucialit tak dilakukan Nur dengan tiba-tiba. Meski sejak kecil sudah karib dengan perkebunan kopi, Nur tetap melakukan pengamatan, riset, hingga melihat potensi besar yang dimiliki kopi Gucialit. Selama dua tahun ia berkeliling di Kecamatan Gucialit, berinteraksi dengan petani, dan menyusun apa yang bisa dilakukan dengan kenyataan yang ia jumpai di lapangan.

"Yang aku lihat, potensi kopi banyak banget, tapi belum ada yang mengolah kopi dan dijual produknya. Dari situ, aku melihat ada peluang, dan akhirnya coba mengolah biji kopi dari petani lokal," kisah Nur.

Ia pun mulai merintis dengan peralatan seadanya, berbekal alat grinding manual. Untuk me-roasting kopi pun Nur dan suaminya harus ke wilayah kota karena tidak memiliki mesin roasting sendiri.

Tak patah semangat, Nur menunjukkan keseriusannya membangun usaha ini. Orangtuanya pun akhirnya turut berkontribusi dengan memberikan sebuah mesin roasting kopi dengan kapasitas 1 kilogram. Dengan adanya alat ini, kapasitas produksi pun bertambah, meski kala itu hanya mampu membeli kopi petani sebanyak maksimal 50 kilogram.

Program Menabung Kopi

Pada tahun 2019, Nur dan suaminya menggagas program Menabung Kopi. Program ini berawal dari fenomena banyaknya petani kopi di Gucialit yang tak langsung menjual produksi kopinya. Sebagian besar memilih menyimpan kopinya sehingga berisiko terhadap kualitas produk.

"Petani kopi di Gucialit itu punya kebiasaan menyimpan kopinya. Kalau enggak butuh mendesak, enggak akan dijual itu kopinya. Kebiasaan ini punya kelemahan, terkait penyimpanan kopi. Kalau tempat penyimpanan kurang bagus, kemasan waktu menyimpan tidak kedap udara, ada risiko kopi rusak. Akibatnya, harga murah," ujar Nur.

Kala itu, ada petani yang menawarkan 100 kilogram kopi hasil panennya. Namun, modal dan kapasitas produksi Kopi Gucialit belum mampu membeli kopi sebanyak itu. Kemudian, Nur menawarkan agar kopinya dititipkan, dan jika sudah terjual, uangnya akan diberikan kepada si petani. Inilah awal mula Menabung Kopi. Untuk memberikan keuntungan lebih, Nur membuat kesepakatan harga dengan petani dengan angka di atas harga pasar.

Menurut dia, hal ini untuk memberikan penghargaan lebih terhadap kopi dan jerih payah para petani.

"Seiring perjalanan, petani mitra merasakan manfaat dari program ini. Ada yang menitipkan kopi untuk biaya kuliah anaknya. Saat itu, dia menabung ketika anaknya kelas 3 SMA, dan terus ikut program ini sampai sekarang anaknya sudah lulus kuliah," cerita Nur.

Dari pengalaman satu petani ini, akhirnya petani mitra yang mengikuti program Menabung Kopi terus bertambah. Bahkan, para petani ini memanfaatkan hasil Menabung Kopi untuk berbagai kebutuhan. Ada petani perempuan yang ikut Menabung Kopi untuk biaya persalinan. Nur juga memberikan pendampingan terhadap petani mitra terkait standar panen, pasca panen, agar kopi yang dihasilkan lebih baik.

Kopi Gucialit pun semakin dikenal, hingga pada 2023, ada 12 petani mitra di Kecamatan Gucialit yang ikut program Menabung Kopi.

Dari kisah yang diceritakannya, terasa semangat belajar yang tinggi dari Nur. Ia mengakui, tak banyak mengantongi ilmu seputar bisnis. Oleh karena itu, berbagai kesempatan mengikuti berbagai pelatihan soal bisnis diikutinya. Nur pernah menjadi peserta inkubasi bisnis untuk memperdalam teori bisnisnya. Inovasi Menabung Kopi juga pernah menjadi juara dalam Lumajang Innovation Award dan bersaing di tingkat Provinsi Jawa Timur hingga masuk Top 15.

Pada ajang Women Ecosystem Catalyst (WEC) 2024, Nur dengan Kopi Gucialit-nya terpilih sebagai Most Impactful Participant. Nur tak menyangka bisa mendapatkan penghargaan ini di WEC 2024.

“Saya tidak menyangka karena peserta-peserta lain juga luar biasa membawa dampak sosial dari bisnisnya. Saya bersyukur. Alhamdulillah,” kata dia.

Bagi Nur, penghargaan ini semakin meneguhkan motivasi yang membuatnya ingin mengangkat derajat kopi dan petani kopi di Gucialit. Tak semata bisnis, tetapi yang berdampak bagi sekitarnya.

Dari proses mentoring selama WEC, Nur juga mendapatkan masukan yang berguna untuk pengembangan bisnisnya. Ia berkesempatan didampingi Asri Saraswati Iskandar (Chief Marketing Officer Agradaya). Pengalaman Asri dan Agradaya menginspirasi Nur untuk tak patah semangat membangun Kopi Gucialit dengan memberdayakan masyarakat sekitar.

“Dari pengalaman Mbak Asri, aku merasa tidak sendiri. Memang tak semudah itu memberdayakan masyarakat desa. Tetapi, aku harus terus berjuang dan konsisten dengan tujuan awal,” ujar Nur.

Berbagai pengalaman dari para mentor dan berbagai materi yang didapatkan selama WEC akan digunakan Nur untuk mengembangkan usahanya. Ia masih memegang kuat impian agar Kopi Gucialit memiliki rumah produksi yang mumpuni.

Sesuai prinsipnya dalam berbisnis, 'sak dedeg sak pengawe' yang menurut Nur memiliki arti setinggi badan dan setinggi gapaian tangan. Maknanya, lakukan sesuatu sesuai kemampuan dan tahu batas kapasitas yang dimiliki. Nur akan menjalani proses mewujudkan mimpi itu dengan sabar.

“Tetap berusaha maksimal, tetapi tidak memaksakan diri. Kalau memaksakan di luar batas kemampuan, kita bisa cedera atau jatuh. Yang penting jangan gampang menyerah!” kata Nur.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement