Rabu 03 Jul 2024 11:52 WIB

Perjalanan Pemilik Ulur Wiji Bangkit dari Rasa Minder dan Insecure

Nasta punya impian melahirkan produk fesyen yang ramah lingkungan.

Red: Fernan Rahadi
Logo Ulur Wiji
Foto: dokpri
Logo Ulur Wiji

REJOGJA.CO.ID, SEMARANG -- Setiap orang mungkin punya cerita gagal dan mengalami fase terendah dalam hidupnya. Nasta Rofika (33), pemilik jenama Ulur Wiji, punya cerita itu. Tetapi, bukan cerita kegagalan yang ingin dibagikannya. Nasta berbagi cerita tentang bagaimana ia bangkit dari perasaan tak percaya diri, minder, dan merasa insecure dengan apa yang dilakukannya. 

Mengganti merek “Nasta” dengan Ulur Wiji, Nasta ingin menjadi benih yang terus bertumbuh dan semakin kuat.

Kini, Ulur Wiji telah dikenal dengan produk batik urban dengan konsep eco fesyen. Bagi Nasta, Ulur Wiji adalah salurannya berbagi kebaikan, menghidupi banyak orang melalui bisnis pakaian. Semangat tak pantang menyerah Nasta membuahkan hasil. Ia terpilih menjadi salah satu dari 20 peserta Women Ecosystem Catalyst (WEC) 2024. 

WEC merupakan program yang digagas PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna) melalui Payung Program Keberlanjutan “Sampoerna Untuk Indonesia” (SUI) bersama Perkumpulan Imajinasi Penaja Mula dan Dinas Koperasi UKM Provinsi Jawa Tengah. 

 

Dari pegawai kantoran, banting setir bisnis fesyen

Nasta memulai bisnis fesyen pada tahun 2015. Kala itu, ia masih bekerja sebagai pegawai kantoran. Sambil bekerja, Nasta mengikuti sekolah fesyen pada akhir pekan. Impiannya, kelak bisa menjadi seorang perempuan wirausaha, dan tak selamanya menjadi pegawai kantoran.

"Dari 2015 sampai 2019 itu saya masih mengerjakan fast fashion, membuat apa saja asal jadi duit. Gaun, jilbab. Brand pertama saya namanya Nasta, menggunakan nama sendiri," ujar Nasta.

Namun, produk-produk Nasta tak bisa bersaing, karena cepatnya perubahan tren dan banyaknya produk dengan konsep yang sama. Akhirnya, pada 2019, ia memutuskan untuk menutup brand Nasta sambil melakukan refleksi. 

Sebagai seorang sarjana teknik lingkungan, Nasta punya impian melahirkan produk fesyen yang ramah lingkungan. Ia sempat mencoba ecoprint, tetapi ternyata sudah banyak pemainnya. Hingga akhirnya ia ingin melakukan inovasi produk eco fesyen dengan menggunakan batik. 

“Batik akan menyampaikan apa yang jadi aspirasiku, dan aku berikan added value supaya lebih eco, dengan memilih warna alam. Aku riset lagi dan belajar soal warna alam. Waktu itu, belum banyak yang mengeluarkan produk seperti ini,” kata Nasta.

Selama setahun, ia memikirkan konsep baru produk yang akan dikeluarkannya. Masa pandemi, yang menjadi masa-masa sulit bagi pelaku UMKM, justru menjadi awal kebangkitan Nasta dan karyanya. Awal Juli 2020, Nasta meluncurkan produk Ulur Wiji. Tak ada satu pun produk yang laku!

"Di awal, saya merasa produk saya bisa menyelamatkan dunia, ternyata enggak ada yang beli. Sedih banget. Ha-ha-ha. Saya idealis, kainnya harus eco banget, benar-benar memilih produsen yang bertanggung jawab pada lingkungan,” kata dia.

Tak patah semangat, Nasta kembali berpikir perbaikan apa yang harus dilakukannya. "Titik baliknya, seorang teman nanya, kamu itu sebenarnya ngapain, Nasta?” ujar Nasta.

Pertanyaan ini menggelitik dan menyadarkan Nasta bahwa konsep yang ingin diperkenalkannya selama ini belum sampai pada calon konsumen. Pada Agustus 2020, Nasta mengubah strategi marketingnya dengan melakukan pendekatan kepada influencer yang selama ini dikenal sebagai pencinta lingkungan. Cara ini efektif, karena akhirnya produk Ulur Wiji diminati dan mulai banyak konsumen yang membeli produknya. 

Pada 2021, Nasta yang selama ini membangun bisnisnya di Penajam Passer Utara, memutuskan kembali ke kampung halamannya di Mojokerto, Jawa Timur. Sang suami pun resign dari pekerjaannya dan membangun usaha bersama Nasta. Mereka memutuskan kembali ke Jawa Timur untuk memenuhi permintaan sang ibu. 

“Almarhumah Ibu saya waktu itu minta saya pulang. Ibu saya bilang, ‘Ibu bantu doa supaya usahamu berkembang di sini’. Ya sudah, saya pulang, karena saat itu juga banyak keluarga, kerabat yang jobless efek pandemi. Karyawan pertama saya adalah sepupu saya sudah jobless dua tahun. Kemudian, saya tarik satu per satu tetangga dan orang-orang sekitar kami,” kisah Nasta.

Kini, Ulur Wiji sudah memberdayakan 10 orang artisan batik dan enam penjahit mitra.

Ulur Wiji, benih yang bertumbuh

Merek Ulur Wiji dicetuskan oleh suami Nasta. Merek ini dipilih bukan tanpa makna. Ia mengisahkan, secara filosofis, Ulur Wiji bermakna benih, biji kecil yang bisa bertumbuh.

“Walau bisa juga mati kapan saja. Tetapi, kalau mampu bertumbuh dengan baik secara organik akan menjadi lebih kuat. Jadi, Ulur Wiji ingin menyemai biji/benih kebaikan melalui pakaian,” ujar Nasta.

Bagi Nasta, “kelahiran” Ulur Wiji juga menjadi titik baliknya bangkit dari fase terendah dalam hidupnya.

“Saya pernah merasa minder banget, tidak percaya diri dengan apa yang saya lakukan. Setelah brand Nasta shut down, saya tidak percaya diri untuk bangkit lagi. Saya rasanya ingin sembunyi, dan saya muncul melalui Ulur Wiji, karena semangat ingin terus bertumbuh,” lanjut dia.

Secara bisnis, Ulur Wiji memiliki tiga visi misi yaitu melestarikan budaya melalui produk batik, menghadirkan produk yang ramah lingkungan, dan memberdayakan anak muda dan perempuan. Pemasaran produknya sebagian besar masih di dalam negeri, tetapi sudah mulai merambah ke beberapa negara melalui penjualan retail, di antaranya ke Singapura, Malaysia, dan Austria. 

Ulur Wiji juga bermitra dengan salah satu pengusaha di Kanada yang memperkenalkan produk Ulur Wiji.

"Mereka bangga dan senang bekerja sana dengan artisan lokal Indonesia. Semoga ke depannya lebih berkembang lagi," kata dia.  

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement