REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah usai, dan masyarakat Indonesia kini memasuki fase menunggu hasil penghitungan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menyikapi perbedaan pandangan yang muncul selama kampanye, Guru Besar Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangkaraya, Prof Khairil Anwar berbicara tentang pentingnya rekonsiliasi dan membangun kebangsaan pasca-pemilu.
Ia mengungkapkan gagasannya tentang langkah-langkah rekonsiliasi dan upaya menjaga harmoni di tengah perbedaan.
"Seluruh pihak yang telah selesai berkompetisi perlu melakukan rekonsiliasi secara arif dan bijaksana, terutama di tengah dinamika politik pasca-Pemilu 2024 lalu. Menurut saya, langkah pertama rekonsiliasi dapat dimulai dari simpul-simpul antar partai politik yang sempat berbeda dalam menentukan dukungan dan pandangannya" kata Prof Khairil, Jumat (23/2/2024).
Seringkali perbedaan sikap dalam Pemilu yang mulanya terjadi di tingkatan pejabat dan partai politik, lalu ikut turun dan meresap di tingkatan grass root. Bahkan ketika Pemilu telah benar-benar usai, segregasi dan konflik horizontal seolah menjadi residu yang tidak langsung dapat dihilangkan.
Ketua Umum majelis Ulama Indonesia provinsi Kalimantan Tengah (MUI Kalteng) ini juga mengusulkan adanya pertemuan antara perwakilan partai politik, termasuk tokoh-tokoh nasionalis dan agamis yang dianggap dapat mendekati berbagai pihak. Dalam usulannya dirinya menyebut, Sri Sultan Hamengku Buwono X, KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dari Nahdlatul Ulama, dan Haedar Nashir dari Muhammadiyah termasuk di antara tokoh-tokoh yang dapat berperan sebagai jembatan rekonsiliasi.
Prof Khairil menegaskan jika pemilihan tokoh-tokoh ini tidak semata-mata berdasarkan afiliasi politik, melainkan berfokus pada karakter inklusif dan wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh mereka. Dirinya menyatakan bahwa langkah-langkah ini diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai kebangsaan dan mempersatukan Indonesia pasca-Pemilu.
Selain menyoroti pentingnya rekonsiliasi, akademisi yang juga Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalteng ini juga menjelaskan konteks politik identitas, termasuk yang memiliki label agama. Ia menyoroti bahwa politik identitas sebenarnya dapat menjadi instrumen positif, tergantung pada cara penggunaannya.
"Sebagai contoh, kita bisa melihat pada Nabi Muhammad,SAW. Rasulullah pernah juga melakukan politik identitas yang inklusif dan dapat menyatukan umat, serta mempersatukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, terhadap politik identitas yang eksklusif, yang mendorong ujaran kebencian dan ketidakadilan, harus kita tinggalkan," ungkapnya.
Prof Khairil juga membahas dampak politik identitas, terutama dalam konteks Pemilu. Ia mencermati bahwa politik identitas yang bersifat eksklusif masih saja ada di Pemilu kali ini, namun tidak separah Pemilu di tahun sebelumnya. Meskipun demikian, ia menekankan peningkatan ujaran kebencian sebagai isu yang patut diwaspadai.
Ketika ditanya tentang seberapa bijaksananya masyarakat Indonesia dalam menyikapi proses yang terjadi pada Pemilu 2024, mantan Rektor IAIN Palangkaraya periode 2019-2023 ini menyayangkan kurangnya kepedulian sebagian orang. Padahal, segala keputusan yang dihasilkan melalui Pemilu menjadi krusial bagi hajat hidup rakyat Indonesia.
"Saya kira pendewasaan masyarakat bangsa ini dalam berpolitik masih belum matang. Kesadaran akan pentingnya peran aktif sebagai warga negara, khususnya melalui hak pilih, perlu ditingkatkan. Saya berharap masyarakat dapat memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap arti kebangsaan dan tanggung jawabnya dalam memilih pemimpin," jelas Imam Besar Masjid Darussalam (Islamic Center) Palangkaraya ini.
Dalam sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, sebenarnya semua individu bisa terlibat langsung dalam menentukan arah kebijakan negara. Hal ini bisa dilakukan dengan berpartisipasi aktif dan menggunakan hak suaranya untuk memilih pihak yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Walaupun demikian, Prof Khairil menegaskan bahwa harapannya tetap besar terhadap masyarakat Indonesia untuk bisa menerima hasil Pemilu 2024. Meskipun ajang lima tahunan ini telah berakhir dan banyak orang memiliki pilihan yang berbeda dengan keluarga ataupun temannya, tetapi semangat persatuan serta persaudaraan harus tetap dijaga.
Mengakhiri penjelasannya, Prof. Khairil memandang masa depan dengan ekspektasi agar proses rekonsiliasi dapat memperbaiki dan menyatukan bangsa, memastikan bahwa presiden terpilih akan melayani seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang suku, agama, atau kelompok tertentu.
"Keadilan, toleransi, dan inklusivitas harus menjadi landasan utama bagi masyarakat Indonesia dalam melangkah pasca Pemilu. Dengan kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan, saya berharap agar Indonesia dapat menghadapi masa depan dengan persatuan dan keharmonisan yang kokoh," kata Prof Khairil mengakhiri.