REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA – Peningkatan suhu dan cuaca ekstrem yang belakangan ini terjadi hampir di seluruh belahan dunia disebabkan oleh perubahan iklim. Jika dibiarkan, hal ini menimbulkan dampak yang sangat fatal bagi kelangsungan hidup makhluk hidup di bumi, seperti menurunnya kualitas air bersih, berkurangnya oksigen, meningkatnya potensi penyebaran penyakit akibat virus dan bakteri, hingga memicu terjadinya bencana alam.
Untuk itu diperlukan kerja sama semua pihak guna mengatasi masalah lingkungan, tidak hanya Perguruan Tinggi, Organisasi Masyarakat dan Pelaku Usaha, tetapi juga masyarakat, khususnya generasi muda. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertema Lingkungan Hidup; Kolaborasi Swasta, Perguruan Tinggi, Organisasi Masyarakat dalam Menghadapi Perubahan Iklim yang diselenggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DIY pada Rabu (22/11/2023).
Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Muhammad Nurcholis menegaskan, Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dan organisasi memiliki perhatian penuh terhadap perubahan iklim. Bagaimana iklim kita saat ini tidak hanya mempengaruhi flora dan fauna, tapi juga menentukan kesehatan manusia.
"Karena itu diperlukan aksi nyata untuk menjaga iklim dengan menekan emisi karbon. Kita harus bersama-sama melakukan kolaborasi tersebut dan lantas kebijakan pemerintah, yaitu bagaimana untuk meningkatkan ketahanan iklim ini," kata Nurcholis dalam rilis yang diterima Republika, Jumat (24/11/2023).
Lebih lanjut Nurcholis menjelaskan Muhammadiyah memiliki komitmen kuat dalam merespons dan mengkaji masalah lingkungan, termasuk yang saat ini sedang ramai seperti perubahan iklim. Muhammadiyah telah membuat konsep dasar untuk memitigasi laju perubahan iklim agar bisa dikendalikan. Nurcholis juga mengajak generasi muda berperan aktif dalam mengatasi perubahan iklim ini.
Generasi muda harus memahami secara praktis penyebab dari perubahan iklim. Terutama mulai melakukan hemat energi dan menggunakan energi non-fosil seperti energi matahari, air, angin, biomassa bisa dikembangkan supaya tidak terlalu cepat dalam mengeksploitasi karbon di bumi.
"Karena semakin banyak yang dipakai energi fosil maka semakin banyak karbon yang dikeluarkan dari perut bumi, anak muda harus paham ini,” kata Guru Besar Ilmu Tanah UPN ‘Veteran’ Yogyakarta dan juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini.
Pembicara lain Head of Climate and Water Stewardship Danone Indonesia, Ratih Anggraeni, mengatakan perubahan iklim adalah isu yang harus disadari oleh generasi saat ini, karena menyangkut keberlangsungan bumi.
"Edukasi tentang lingkungan harus dilakukan seawal mungkin sehingga mampu mendorong generasi muda untuk berinovasi memitigasi perubahan iklim. Dengan demikian kita kita bisa mitigasi perubahan iklim ini secara lebih masif," jelas Ratih.
Berbagai upaya dilakukan Danone Indonesia dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup sebagai bagian dari visi perusahaan, tidak saja disekitar pabrik tetapi juga di tempat lain.
“Kami mendukung net zero emission pada 2050 namun di antaranya 2030 mencapai target pemenuhan jejak karbon dari operasional secara signifikan. Mulai dari penggunaan energi terbarukan, pengurangan energi fosil dan memastikan produk dihasilkan melalui sistem pertanian regeneratif. Komoditas yang dipakai tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi,” katanya.
Danone Indonesia sejak tahun 2017 telah mengembangkan inovasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTSA) di beberapa pabrik dan memiliki komitmen untuk menerapkannya di semua pabriknya di Indonesia pada tahun 2025.
Selain itu, tambah Ratih, Danone berupaya memastikan penggunaan kemasan mengandung material daur ulang karena jika tidak, maka akan berkontribusi emisi gas rumah kaca. Kemudian sistem logistik harus lebih efisien dan meminimalisasi sampah. Ia berharap sejumlah langkah pro lingkungan itu bisa diiringi iklim kondusif agar industri menjadi lebih mudah dalam memanfaatkan energi terbarukan.
Upaya lain yang dilakukan Danone adalah mendorong inisiatif pengelolaan sampah yang efisien. Untuk itu selain melakukan edukasi kepada masyarakat dan mendukung pengembangan bank sampah disekitar pabrik, Danone juga membangun infrastruktur tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST).
"Karena lagi-lagi sampah itu juga berkontribusi terhadap gas rumah kaca, apalagi kalau kita lihat sampah makanan itu secara global berkontribusi terhadap sampah sekitar 12 persen. Di tempat pembuangan akhir (TPA) misalnya, sampah makanan itu melepaskan gas metan. Karena itu, dengan memilah sampah sangat bisa membantu untuk menurunkan emisi gas rumah kaca," papar Ratih.
Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dra Mutia Hariati Hussin, mengemukakan kesenjangan antara porsi kebijakan dengan penerapan di lapangan yang memicu persoalan-persoalan dalam mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
"Kalau dari segi kebijakannya sudah banyak yang dihasilkan dan kelihatannya hanya untuk memenuhi kewajiban kita sebagai negara yang menandatangani berbagai perjanjian lingkungan banyak kita punya macam-macam, ada SDG’s, MDG’s," kata Mutia.
Mutia mencontohkan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJMP) tahun 2024-2045 belum terlihat aktivitas yang dikerjakan oleh masyarakat.
"Jangan sampai kita kehilangan lagi kesempatan dalam program jangka panjang itu dan tidak membuat program-program atau policy yang indah-indah oleh negara, tapi tidak mampu diimplementasi oleh akar rumput," ujar Mutia.