REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA - Pengamat pendidikan mendukung kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang melarang adanya dosen killer. Dosen killer biasanya merujuk kepada dosen atau guru yang dikenal karena tingkat kesulitan dan kebijakan ketat dalam memberikan nilai sehingga siswa menganggapnya sulit untuk mendapatkan nilai tinggi atau lulus dalam mata pelajaran yang diajarkan.
"Dalam beberapa kasus, istilah ini juga dapat merujuk kepada dosen yang sering memberikan beban tugas dan pekerjaan rumah yang sangat berat," ujar Kepala Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (LPP UMY) Endro Dwi Hatmanto kepada Republika, Kamis (2/11/2023).
Ia memaparkan, students well-being atau kesejahteraan siswa, mengacu pada kondisi psikologis, fisik, sosial, dan emosional siswa dalam konteks pendidikan. Ini mencakup sejumlah faktor yang memengaruhi kebahagiaan dan kesejahteraan siswa selama masa belajar. Faktor-faktor tersebut dapat mencakup kesehatan mental, kesehatan fisik, hubungan sosial, kepuasan belajar, keseimbangan kehidupan, rasa aman dan ketrampilan emosional.
"Jadi, keberadaan dosen killer kontraproduktif terhadap ikhtiar untuk mewujudkan students well being," kata Endro.
Menurutnya ada beberapa kerugian dengan adanya dosen killer. Pertama, memicu stres mahasiswa. Mahasiswa mungkin merasa sangat tertekan dan stres ketika menghadapi mata pelajaran yang dianggap sulit karena kebijakan dan standar penilaian yang ketat.
Kedua, penurunan motivasi. Ketika mahasiswa merasa sulit untuk mendapatkan nilai baik atau merasa bahwa usaha mereka tidak dihargai, motivasi mereka untuk belajar dapat menurun.
"Tidak semua mahasiswa itu bagus atau kompeten dalam bidang akademik. Mungkin mahasiswa tersebut kompeten dalam bidang-bidang yang lain, jadi kita sebagai dosen sebenarnya tidak bisa menyamakan standar kemampuan bagi setiap mahasiswa," jelasnya.
Ketiga, potensi peningkatan mencontek. Dalam beberapa kasus, mahasiswa yang sangat tertekan oleh dosen killer mungkin cenderung mencari cara-cara tidak jujur, seperti mencontek atau berbuat curang, untuk mencapai nilai yang lebih tinggi.
Keempat, kualitas pembelajaran yang terpengaruh. Dosen killer dapat memberikan pengalaman belajar yang kurang positif, di mana siswa fokus pada nilai daripada pemahaman materi.
"Oleh karena itu, saya setuju bahwa universitas perlu mencegah munculnya fenomena dosen killer yang asimetris terhadap peningkatan students well being, merugikan mahasiswa dan merugikan pendidikan pada umumnya," tutur Endro.
Fenomena dosen killer ini, menurut Endro, biasanya terjadi di kampus negeri, tidak dengan kampus swasta. Ini karena di kampus swasta, termasuk UMY, dosen tidak bisa sembarangan memperlakukan mahasiswa, karena keberlangsungan kampus swasta ada pada mahasiswa.
"Kampus swasta saat ini semakin kesulitan untuk mencari mahasiswa. Maka justru di kampus swasta, pelayanan prima kepada mahasiswa dan proses pembelajaran yang bagus justru lebih didorong daripada kampus negeri," ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Wening Udasmoro mengatakan pihak kampus akan segera membuat aturannya. "Kami akan membuat SOP terkait hal tersebut," kata Wening kepada Republika, Selasa (31/10/2023).
Isu kesehatan mental jadi isu yang disoroti banyak pihak, terutama kesehatan mental di kalangan mahasiswa. Karena itu untuk mengantisipasi kerentanan mental di kalangan remaja dan mahasiswa, maka UGM membuat langkah mitigasi. Ia menambahkan, UGM juga telah melakukan sosialisasi terkait larangan dosen killer tersebut.