REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memprediksi dunia memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati pada 2050. Hal ini sejalan perkiraan populasi dunia sebanyak 9,8 juta jiwa pada tahun tersebut.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan industri kelapa sawit merupakan bagian integral dari ekonomi global, sekaligus berperan penting dalam perekonomian nasional. Adapun industri ini telah berhasil berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja produktif dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, ketahanan energi, serta penyediaan barang-barang konsumsi.
"Minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat. Kelapa sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4 persen atau J2.4," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (2/11/2023).
Untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200 ribu hektare sejak 2007 dan seluas 180 ribu hektare sedang dilakukan penanaman kembali pada tahun ini dengan mengalokasikan anggaran sebesar 386 juta dolar AS.
Pada tingkat global, inisiatif Uni Eropa melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) untuk membatasi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia, akan memberikan dampak langsung pada komoditas utama Indonesia, yakni kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi, dan kayu.
"Terlepas dari kekhawatiran kami, pemerintah siap berkolaborasi dengan Uni Eropa dalam membangun kerangka kerja yang mendorong pertanian berkelanjutan, termasuk produksi minyak nabati, dengan cara yang inklusif, holistik, adil, dan tidak diskriminatif. Sangat penting bagi Uni Eropa untuk mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa standar keberlanjutan nasional negara-negara produsen dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengakses pasar Uni Eropa,” ujarnya.
The Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) juga telah menjalin komunikasi intensif dengan komisi Uni Eropa untuk mengatasi tekanan tersebut dan telah menghasilkan enam tim kerja termasuk inklusivitas petani kecil, skema sertifikasi yang relevan, ketertelusuran, data ilmiah mengenai deforestasi dan degradasi hutan, serta perlindungan data privasi.
Pemerintah juga telah mengembangkan clearing house untuk memastikan seluruh komoditas perkebunan yang akan diekspor dapat ditelusuri untuk menjamin pasar global bahwa produk-produk tersebut dihasilkan dari perkebunan yang berkelanjutan. Adapun pengembangan kelapa sawit berkelanjutan turut didorong melalui Indonesia Sustainable Palm Oil Plantation Certification System (ISPO).
Sertifikasi ISPO menjamin praktik produksi yang dilakukan oleh perusahaan dan petani kelapa sawit mengikuti prinsip dan kaidah keberlanjutan. Selain ISPO, Pemerintah Indonesia juga mendukung sertifikasi sukarela melalui skema roundtable on sustainable palm oil (RSPO).
"Industri kelapa sawit berkontribusi dalam menopang pemulihan ekonomi serta aspek sosial dan lingkungan masyarakat. Dengan bekerja sama, kita dapat mencapai tujuan untuk perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, pembangunan rendah karbon, berketahanan iklim dan berkelanjutan, serta penguatan industri minyak sawit dalam negeri," ujarnya.