Adapun diskusi tersebut diikuti perwakilan doktor dari universitas se-Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang UMM) pada 9 Agustus lalu.
Pada kesempatan tersebut, Suharsiwi mengatakan, penelitian memang merupakan salah satu tugas dosen untuk memenuhi kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hal ini terutama untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu sebagai kontribusi. "Namun, perlunya internasionalisasi publikasi dalam bentuk publikasi terindeks Scopus nyatanya memiliki catatan-catatan negatif," jelasnya.
Tuntutan publikasi Scopus membuat sebagian dosen akhirnya memilih jalur pintas. Sebab itu, muncul jurnal predator, perjokian karya ilmiah, hanya sekedar menumpang nama, dan lain sebagainya.
Situasi tersebut semakin diperparah saat seorang dosen telah menerbitkan jurnal terindeks Scopus tetapi jurnal tersebut berstatus discontinued. Hal itu menyebabkan dosen mengalami kerugian biaya dan pengorbanan selama proses menulis sehingga akhirnya mengambil cara pintas.
Adapula efek lain dari praktik negatif penerbitan jurnal terindeks Scopus yaitu adanya arogansi personal atau kelompok terhadap yang lain, yang mengakibatkan dunia akademik tidak kondusif. Hal-hal seperti itu tidaklah sesuai dengan semangat integritas dan akhlak yang seharusnya menjadi marwah pendidikan.
Ia dan tim penyusun naskah akademik berharap, temuan-temuan dari hasil kajian dapat dievaluasi dan direalisasikan oleh Ombudsman. Dengan demikian bisa segera memberikan perubahan kebijakan yang lebih membantu tenaga pendidik atau dosen. Hal ini terutama dalam kinerja publikasi, pencapaian guru besar dan lain sebagainya.
Sementara itu, Ketua Ombudsman RI Mokh Najih menanggapi bahwa Ombudsman siap mengkaji naskah akademik tersebut. Dengan begitu, temuan para dosen tidak hanya berhenti dalam bentuk laporan saja. Tetapi juga bisa direalisasikan dan dapat bermanfaat bagi penyelenggaraan perguruan tinggi.