REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, menyoroti pasal-pasal tembakau yang ada pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Dia menilai, aturan tersebut tidak lazim dan tidak sesuai dengan semangat UU yang dirancang karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada kesehatan.
"Yang jelas, ini tidak lazim dan tidak sesuai dengan spirit UU karena UU-nya tidak membahas soal komoditi yang berdampak pada Kesehatan. Kalau kita membahas komoditi yang berdampak pada kesehatan jangan hanya tembakau saja," ujar Firman kepada wartawan, Selasa (27/6/2023).
Pria yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI itu menjelaskan, lahirnya RUU Kesehatan merupakan inisiasi Baleg DPR. Tujuannya adalah ingin menyempurnakan tata kelola pelayanan kesehatan yang sekarang ini dianggap masih kurang baik, padahal pelayanan kesehatan merupakan hak masyarakat sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Prinsip dasar itu kemudian disampaikan kepada pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk bisa disusun bersama. Dia menerangkan, saat ini, pelayanan kesehatan yang ada masih jauh dari apa yang diharapkan. Jumlah dokter yang tersedia masih jauh daripada mencukupi.
"Kemudian juga untuk pengadaan kebutuhan dokter spesialis saja itu masih jauh daripada yang kita harapkan. BPJS juga. Perlu penataan ulang," jelas dia.
Pasal-pasal terkait tembakau yang terkandung dalam RUU Kesehatan menyetarakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika serta minuman beralkohol. Dia tak sepakat dengan aturan itu karena narkotika dilarang hukum atau dengan kata lain ilegal. Itu berbeda dengan tembakau yang legal.
"Semua produk yang resmi, ada izin dan sebagainya itu adalah hak asasi manusia. Jadi, tidak ada satupun yang dilanggar oleh industri tembakau apalagi petani tembakau," kata dia.
Menurut Firman, Mahkamah Konstitusi saja sudah membuat kebijakan dengan mengambil keputusan bahwa tanaman tembakau itu adalah tanaman yang legal. Bahkan, ketika ada anggota masyarakat yang menggugat agar tidak boleh memasang iklan produk tembakau, gugatan itu ditolak MK karena bertentangan dengan HAM.
Di samping itu, perwakilan tenaga kerja juga telah menyampaikan kekhawatiran akibat pasal-pasal tembakau di RUU Kesehatan. Ekosistem industri tembakau seperti pekerja juga telah meneriakkan rasa sakit hati dan khawatir atas potensi krimininalisasi akibat pasal-pasal tersebut.
"Penyetaraan tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol dalam pasal-pasal bermasalah di RUU Kesehatan menyakiti perasaan kami sebagai tenaga kerja legal yang terus berjuang untuk mencari nafkah halal bagi keluarga kami," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Sudarto AS.
Sementara itu, Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, Pasal 156 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang standarisasi kemasan produk tembakau menimbulkan pertanyaan besar. Pasal tersebut menyebutkan bahwa kedepannya, Menteri Kesehatan lewat aturannya akan menjadi pihak yang berwenang untuk menentukan jumlah batang dalam kemasan rokok, bentuk serta tampilan kemasan.
"Jika RUU ini resmi disahkan, maka akan berdampak panjang pada seluruh elemen ekosistem pertembakauan. Masa depan ekosistem tembakau pun sudah tentu akan hilang dengan cepat secara legal," ujar Hananto kepada wartawan.