REJOGJA.CO.ID, MALANG -- Film Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung resmi diluncurkan untuk pertama kalinya di Mopic Cinemas Malang, Kota Malang, Ahad (20/5/2023). Film jenis dokumenter ini membahas hubungan folklor dan mata air di Malang Raya.
Produser Film Tirta Carita: Sendang Malang di Cekung Gunung, Latifah menyatakan, ide film ini dilatarbelakangi adanya folklor yang hidup bersama mata air selama bertahun-tahun di masyarakat. Bahkan, folklor tersebut telah menjadi bagian identitas masyarakat di sekitar mata air di Malang Raya.
Menurut Latifah, kisah-kisah tersebut telah menggambarkan keunikan, keajaiban dan kekuatan yang dimiliki sumber air. Namun demikian, keunikan mata air di Malang tidak hanya berasal dari folklor yang diceritakan sendang. "Yang tak kalah penting posisi ekologis dari keindahan alam tersebut," kata Latifah di Kota
Latifah berharap film ini tidak berhenti pada dokumentasi tetapi juga dapat dijadikan sebagai media penyadaran masyarakat. Hal ini termasuk menjadi sumber ide kreatif dan inspiratif masyarakat luas.
Melalui film ini juga diharapkan sumber air yang menjadi kekayaan masyarakat dan budaya Indonesia dapat terus lestari. Dengan demikian, nantinya dapat terus dinikmati generasi di masa mendatang.
Sementara itu, tim produksi film, Nur Elifianita Susanti mengungkapkan, saat ini kondisi sendang atau mata air di Malang Raya bermacam-macam. Ada sendang yang masih lestari, memasuki masa kritis, bahkan sudah mati. Kritisnya kondisi tersebut dikarenakan beberapa faktor seperti bencana alam, eksploitasi berlebihan, tempat wisata dan lain-lain.
Di sisi lain, kondisi folklor dari sendang-sendang di Malang juga berbeda-beda. Ada yang folklornya masih lestari, bahkan ada yang tidak ada sama sekali. "Sendang yang hampir mati itu biasanya minim folklor seperti di Sumbersari itu kami tidak nemu folklornya dan dulu ada," jelas perempuan disapa Fani ini.
Dari banyaknya sendang di Malang Raya, tim produksi akhirnya hanya mengangkat delapan tempat. Sendang-sendang tersebut antara lain Wendit, Pakis; Polaman, Lawang dan Selorejo, Dau, Kabupaten Malang. Kemudian Beji Sari, Lowokwaru; Sumber Alur; Kalisongo; Sumber Sareh, Kota Malang dan Songgoriti, Kota Batu.
Fani menyatakan, tim hanya memilih delapan sendang tersebut sebagai perwakilan masing-masing daerah. "Kita memilih misal karena satu-satunya sumber air panas Jatim, satu-satunya candi petirtaan. Lalu juga dilihat kondisi eksploitasi hampir mati atau lestari, ekologis masih lestari, hampir lestari, dan tradisinya juga dilihat dari hampir lestari, lestari sampai sudah mati,'" jelas perempuan berhijab ini.
Pada kesempatan lain, Staf Ahli Museum Zoologi Fr. M. Vianney BHK Malang, Denise Resiamini Praptaningsih memberikan apresiasi atas topik yang diangkat film tersebut. Pasalnya, film tersebut terlihat sangat jeli mengangkat ekosistem perairan yang ada di sumber-sumber air Malang. Sebab itu, dia berharap, film ini dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran.
"Ini juga bisa diusulkan untuk diputar di seluruh sekolah melalui dinas Kota Malang. Saya sendiri berencana akan putar film ini di Museum Zoologi sehingga bisa diskusi matang," kata dia menambahkan.
Apresiasi juga disampaikan Sejarawan dari Universitas Airlangga Surabaya, La Ode Rabani. Menurut dia, film tersebut memiliki narasi yang begitu lengkap. Sebab itu, dia menilai film ini dapat menjadi salah satu alat kesadaran bagi masyarakat agar keseimbangan sumber air dapat tetap terjaga.