REJOGJA.CO.ID, MALANG -- Kemenangan Timnas Indonesia U-22 atas Thailand di final sepak bola SEA Games 2023 Kamboja membawa suka cita bagi masyarakat. Apalagi raihan tersebut menjadi pelepas dahaga untuk sepak bola Indonesia yang terakhir kali mendapatkan emas pada 32 tahun lalu.
Pengamat sepak bola Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Yunan Syaifullah, menilai mentalitas Garuda Muda patut diakui jempol. Meskipun kemenangan yang di depan mata buyar berkat gol menit akhir Thailand, mereka masih terus berjuang. "Hingga memastikan kemenangan di babak tambahan waktu dengan skor 5-2," katanya.
Yunan menilai, final tersebut bukan hanya pertandingan tentang sepakbola, tetapi juga soal harga diri. Hal ini terutama tentang siapa yang bisa konsisten dan konsekuen akan memetik hasil terbaiknya.
Penentuan kemenangan juga seringkali terjadi di menit krusial. Hal ini terutama berkat gol-gol di 15 menit awal maupun akhir. Situasi ini terbukti dengan banyaknya gol yang tercipta di menit-menit tersebut.
Adapun mengenai para pemain yang sempat dipanggil ke timnas senior, Yunan mengatakan, itu merupakan sebuah kelebihan. Namun faktor utama yang menentukan kemenangan adalah kolektivitas para pemain.
Timnas juga tidak bergantung pada satu atau dua pemain saja, seperti Marselino atau Witan. Dia mencontohkan permainan Haykal, Taufany dan Ananda Raehan.
Mereka memang bukan berasal dari tim besar atau starter di klubnya namun ketenangan dan kerja sama yang apik bisa mereka lakukan di lapangan. Kombinasi mereka dengan Marselino, Sananta, atau bahkan Rizky Ridho patut diacungi jempol.
Penulis buku Filosofi Bola itu juga berpendapat pertumbuhan sepak bola Indonesia di tiga tahun terakhir dinilai terlalu cepat, bahkan di luar ekspektasi negara-negara lain. Hal ini terutama dalam hal teknologi, cara bermain, makanan, dan lainnya.
Beberapa tahun terakhir, ungkap dia, Vietnam dan Thailand seringkali dianggap sebagai yang terkuat di Asia Tenggara. Namun kini pertumbuhannya melambat bahkan bisa disebut stagnan. "Malah Timor Leste dan Kamboja yang terlihat pesat,” jelasnya.
Meskipun demikian, Yunan menilai pertumbuhan ini bukan mutlak karena sosok tertentu seperti Shin Tae Yong (STY) maupun Indra Syafri. Namun dengan hadirnya STY, pengelolaan sepakbola sedikit demi sedikit berubah.
Jika dulu pola pikir sepak bola Indonesia adalah hasil. Namun kini bergeser ke pemahaman bahwa sepak bola adalah proses. Proses panjang yang dimulai dari dasar seperti gizi, makanan, pemanasan, cara bermain, teknik, dan lainnya.
Pengamat sepakbola yang juga dosen UMM itu sempat membahas mengenai potensi pemain yang hilang saat kembali ke klub. Hal ini terjadi bagaimana pemain yang bermain bagus di timnas diharapkan bisa moncer di klub masing-masing.
Namun karena kurangnya jam terbang, mereka akhirnya tenggelam oleh pemain senior lain. Apalagi klub-klub di Liga 1 Indonesia pragmatis dan fokusnya hanya juara.
Menurut Yunan, banyak posisi strategis klub yang diisi oleh pemain-pemain asing sehingga menekan potensi pemain lokal untuk bersinar. Padahal seharusnya, klub memberikan porsi kepada pemain muda agar bisa berkembang dan mampu melahirkan pemain berkualitas untuk timnas.
Ia pun mencontohkan ada banyak posisi striker yang diisi pemain asing. Pemain tengah dan sayap bagus juga jarang terlihat di Liga 1 Indonesia.
"Mungkin, posisi yang masih aman untuk pemain lokal saat ini hanyalah kiper. Terbukti dengan melimpahnya stok kiper kita di berbagai kategori umur dan tim senior,” kata dia.