Ahad 23 Apr 2023 22:07 WIB

Penjelasan Pakar terkait Asal Emosi Negatif

Menurut Burnett, mempelajari emosi manusia sangat penting.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Fernan Rahadi
Emosi Negatif  (ilustrasi)
Foto: Dailymail
Emosi Negatif (ilustrasi)

REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Kesedihan, kemarahan, dan ketakutan dikategorikan sebagai emosi negatif, yang merupakan bagian tak terhindarkan dari pengalaman manusia. Pertanyaannya, dari mana emosi negatif berasal dan mengapa semua orang merasakannya?

Pakar neurosains Dean Burnett membagikan wawasan tentang penelitian terbaru terkait bahasan tersebut. Penulis buku 'The Happy Brain' itu berpendapat semua orang tidak perlu ragu untuk mengekspresikan emosi yang dirasakan, baik itu negatif maupun positif.

Dikutip dari laman Science Focus, Ahad (23/4/2023), Burnett menjelaskan bahwa studi tentang emosi biasanya diberi label ilmu saraf afektif. Salah satu aliran pemikiran menunjukkan bahwa otak bertindak seperti pembuat tembikar dalam membentuk emosi.

Otak menghasilkan reaksi emosional terhadap apa pun yang terjadi pada kita dan kemudian menggunakannya untuk mengatakan "Benar, dalam hal ini kita perlu mengalami rasa takut", sehingga otak menghasilkan respons rasa takut. "Atau, dalam kasus lain kita mengalami ketidakadilan sehingga otak membangkitkan respons kemarahan," ungkap Burnett.

Ilmuwan mempelajari emosi dengan meninjau aktivitas saraf yang terjadi di otak menggunakan pemindai otak. Saat seseorang takut, misalnya, akan terlihat aktivitas di amigdala, yang merupakan salah satu pusat emosi di otak yang terlibat dalam banyak proses emosi.

Sementara, ketika seseorang merasa jijik, baik itu karena melihat pemandangan yang menjijikkan atau menyimak cerita yang menjijikkan, biasanya terlihat peningkatan aktivitas di bagian otak yang berbeda. Area yang disebut korteks insula menjadi lebih aktif.

Berbeda pula pada orang yang sedang marah, akan tampak aktivitas yang meningkat di daerah hipotalamus tertentu. Studi pun menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara saraf yang terjadi di otak, emosi, dan ekspresi wajah.

Menurut Burnett, mempelajari emosi manusia sangat penting, sebab itu sangat memengaruhi siapa diri seseorang dan apa yang dia lakukan. Segala sesuatu yang dipikirkan, dilakukan, dan dirasakan seseorang bisa dipengaruhi atau bahkan disebabkan secara langsung oleh keadaan emosinya.

Jelas ada kasus di mana seseorang harus mengendalikan emosi atau tidak menindaklanjutinya, tetapi Burnett secara terang-terangan menolak paham di mana seseorang tidak boleh menunjukkan emosi. Setiap emosi perlu dirasakan dan diekspresikan.

Dia pun menolak gerakan positivity yang mengatakan seseorang harus bahagia setiap saat, atau seseorang selalu bisa memilih untuk bahagia. Burnett berpendapat itu tidak benar, sebab tidak ada yang salah dengan emosi negatif dan tak perlu memaksakan diri untuk memiliki emosi yang berbeda.

Beberapa penelitian telah menemukan bahwa menunjukkan emosi yang berbeda dari yang sebenarnya dirasakan bisa lebih membuat stres. Itu disinyalir dapat menyebabkan lebih banyak kerusakan secara keseluruhan, daripada tidak menunjukkan apa-apa.

"Hal yang saya pelajari adalah jangan mencoba menekan emosi. Semua emosi valid dan penting. Emosi seperti semen yang menyatukan batu bata pikiran, dan gagasan bahwa Anda dapat menekannya dan menyingkirkannya adalah salah dan tidak membantu,\" ujar Burnett yang juga menulis buku 'Emotional Ignorance'.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement