REJOGJA.CO.ID, Oleh: Nuruddin Al Akbar
Istilah Masyarakat Madani kembali mengemuka ke tengah publik Asia Tenggara setelah Anwar Ibrahim mewacanakan kembali istilah ini ketika ia menjabat sebagai perdana menteri baru Malaysia dengan slogan baru yakni Negara Madani.
Sebenarnya istilah Masyarakat Madani sempat menjadi pembicaraan luas di kalangan akademisi dan publik Indonesia pada tahun 1990-an, seiring dengan popularitas wacana civil society (masyarakat sipil). Istilah masyarakat madani kemudian turut diperbincangkan di ruang publik dengan makna yang beragam, mulai dari pemaknaan bahwa istilah masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society hingga maknanya kurang lebih sama.
Namun muncul pula akademisi yang mencoba memposisikan istilah masyarakat madani sebagai kontras dari istilah civil society yang saat itu juga sudah mulai diterjemahkan sebagai masyarakat sipil. Sosok Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) misalnya termasuk di antara akademisi yang memperdebatkan tentang dua istilah tersebut berikut maknanya.
Satu hal yang mungkin luput dari perbincangan mengenai munculnya wacana masyarakat madani pada tahun 1990-an di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan wacana tersebut di negara Malaysia. Bahkan bisa dikatakan Anwar Ibrahim termasuk pihak yang secara gencar mewacanakan istilah tersebut pada tahun 1990-an, baik di Malaysia atau negara lain yang dikunjunginya termasuk Indonesia.
Maka sebagai sebuah analisis historis menjadi satu hal yang penting untuk melakukan pelacakan pada sosok yang sekiranya mencetuskan istilah tersebut pada awalnya sehingga kita bisa memahami apa makna dari istilah yang hingga kini masih menjadi bahan perdebatan khususnya dalam dunia akademik Tanah Air.
Dapat dikatakan Anwar Ibrahim mempopulerkan istilah masyarakat madani setelah sebelumnya diperkenalkan oleh gurunya yakni Syed Naquib Al Attas, seorang filusuf kenamaan Asia Tenggara yang dikenal luas dengan gagasannya mengenai teori sekularisasi dan proyek Islamisasi Pengetahuan.
Dikarenakan Al Attas adalah seorang filsuf maka menjadi penting untuk memahami bagaimana Al Attas memaknai istilah masyarakat madani. Sebab seringkali ketika wacana tersebut telah masuk ke dalam dunia politik dan ruang publik secara umum ada potensi reduksi pemaknaan terhadap istilah tersebut tidak mesti dengan niat kesengajaan. Tetapi bisa jadi karena adanya kebutuhan untuk menyederhanakan konsep sehingga berbagai poin yang mestinya menjadi pokok definisi justru menjadi tidak terartikulasikan dengan baik.
Al Attas sendiri sebagai seorang akademisi juga berupaya memperkenalkan gagasannya kepada khalayak publik secara lebih luas. Tercatat Al Attas memberikan satu penjelasan panjang lebar tentang istilah tersebut dalam forum Konvensyen Masyarakat Madani dengan tema “Masyarakat Madani: Model Malaysia” yang diselenggarakan pada Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada 19-21 September 1996.
Tentu forum ini bukan forum satu-satunya Al Attas menjelaskan tentang konsep masyarakat madani tersebut. Namun bisa dikatakan bahwa penjelasan dalam forum UKM pada tahun 1996 telah memeberikan gambaran terperinci tentang makna dari masyarakat madani menurut Al Attas. Sehingga tulisan ini secara penuh akan menganalisis makna dari masyarakat madani menurut Al Attas dari materi yang disampaikan oleh Al Attas dalam forum yang diselenggarakan UKM tersebut.
Jika diperhatikan secara seksama sejak awal Al Attas memang memunculkan konsep tersebut sebagai responsnya atas munculnya konsep civil society (masyarakat sipil) dalam dunia akademik. Al Attas merasa bahwa konsep civil society memiliki problem filosofis yang mendasar sehingga bagi Al Attas tidak selayaknya menjadikan konsep tersebut fondasi dalam bermasyarakat dan juga bernegara, termasuk juga menjadikan konsep tersebut sebagai konsep kunci dalam kajian akademik di berbagai perguruan tinggi.
Sebagai gantinya, Al Attas memformulasikan konsep masyarakat madani yang menurutnya memiliki fondasi filosofis yang kokoh sehingga lebih layak untuk dibicarakan baik dalam dunia akademik ataupun ruang publik secara luas.
Problem mendasar pada konsep civil society menurut Al Attas ialah konsep tersebut membayangkan sebuah tatanan (order) yang termanifestaikan dalam sebuah kota (city, dapat bermakna negara kota sebagaimana Yunani hingga negara bangsa bahkan juga tatanan internasional) namun tatanan tersebut tidak memilki satu inti yang kokoh selain dari institusi fisik bernama kota itu sendiri.
Tatanan semacam ini mungkin dapat eksis dan mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu namun ia berkembang tanpa jiwa (soul). Akibatnya kota tersebut tidak disimbolkan dengan harmoni tetapi justru chaotic. Implikasinya, seorang bisa menjadi citizen (warga kota) yang baik tetapi ia tidak dituntut untuk menjadi good man (orang baik) itu sendiri. Maka tidak mengherankan jika dalam kota tersebut bisa terus berkembang secara fisik namun di dalam jalan-jalan kota tersebut dipenuhi oleh tidak penipuan, kejahatan, ketidakadilan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya.
Fenomena inilah yang juga terjadi pada kota-kota “maju” di zaman Yunani ketika filsuf besar semacam Plato dan Aristoteles hidup. Plato -menurut Al Attas- melihat kontras antara kota dengan alam dimana alam mencerminkan keteraturan (cosmos) sedangkan kota mencerminkan ketidakteraturan. Begitu pula Aristoteles yang menyaksikan berbagai tindakan “barbarisme” di kota tempat ia hidup.
Dengan kata lain keduanya melihat bahwa kehidupan kota tidak cukup hanya dicirikan dengan good citizen (warga kota/warganegara yang baik) tetapi mesti dicirikan dengan good man (manusia yang baik) yang pokok penekanannya adalah individu yang beretika.
Al Attas bersetuju dengan dua filsuf Yunani tersebut dan menjadikannya sebagai basis untuk mengkritisi konsep civil society yang secara filosofis memiliki “cacat” karena tidak menjadikan isu jiwa (soul) kota sebagai pokok bahasannya. Lebih jauh jiwa kota ini tidak lain termanifestasikan dalam individu-individu yang beretika. Dimana dengan keberadaan individu-individu yang berjiwa kuat itulah sekiranya akan membentuk kota yang didirikan atas prinsip etika yang kuat sebagaimana kota Madinah yang memiliki arti kota yang dicirikan dengan din (agama) dimana salah satu dimensi dari din ialah etika.
Spirit yang sama juga diperjuangkan oleh Aristoteles dimana ia menuliskan satu karya khusus berjudul Nicomachean Ethics (Etika Nikomakea) yang menurut Al Attas merupakan fondasi bagi karyanya Politics. Dengan kata lain Aristoteles mengharapkan bekerjanya politik -penyelenggaraan kota- mesti didasarkan pada etika dan bukan sebaliknya (etika yang didikte kekuasaan) atau terpisah dua pembahasan tersebut.
Masalahnya menurut Al Attas, meskipun Nicomachean Ethics berisikan pembahasan yang penting terkait dengan etika, namun menurut Al Attas ada problem krusial dalam karya tersebut sehingga mengakibatkan karya tersebut tidak berdampak pada masyarakat Yunani dimana Aristoteles tinggal. Ia menjadi sebatas teori tanpa pernah diterapkan dalam sebuah kota yang nyata secara fisik. Alasannya menurut Al Attas Nicomachean Ethics tidak didirikan diatas fondasi metafisika yang kokoh sehingga ia tidak bisa mengikat masyarakat Yunani untuk hidup dalam sistem etika tersebut.
Bagi Al Attas hanya agama yang sekiranya mampu menyediakan fondasi metafisik sekaligus etika secara kokoh sehingga ia tidak hanya berhenti sebagaimana karya filsafat Aristoteles namun dapat diterapkan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Madinah adalah contoh bagaimana etika Islam tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga dapat dipraktikkan. Tidak seperti masyarakat Yunani dimana pasca-penulisan karya tersebut juga tetap hidup tidak dibawah prinsip etika yang kuat.
Menarik untuk sekiranya menelusuri mengapa terjadi defisit metafisik dalam karya Nicomachean Ethics sehingga tidak memungkinkannya menjadi pedoman dalam bermasyarakat pada waktu Aristoteles hidup. Menurut Al Attas, alasannya ialah Nicomachean Ethics sejatinya bukan merupakan hasil olah pikir semata dari Aristoteles tetapi ia lebih kepada upaya Aristoteles untuk mereartikulasi ajaran-ajaran etis yang menurutnya ia merupakan satu warisan masa lalu yang terserak. Al Attas menganalisis bahwa apa yang disebut Aristoteles sejatinya mengacu pada sisa-sisa ajaran agama yang masih eksis namun tidak dalam bentuknya yang utuh. Hal inilah yang membuat Aristoteles mengalami kesulitan besar ketika ingin menyediakan basis metafisika bagi sistem etika tersebut.
Bisa dikatakan basis metafisika yang dimaksud dalam konteks ini adalah mengenai apa yang meniscayakan (mewajibkan) manusia semestinya bermoral. Pertanyaan ini akan masuk lebih jauh ke dalam pendefinisian siapa manusia dan apa tujuannya. Tanpa jawaban atas pertanyaan metafisik-eksistensial ini maka akan menjadi absurd untuk seorang memilih hidup bermoral. Terlebih lagi paham keagamaan yang berkembang saat itu adalah paham keagamaan berbasis mitos dimana dewa-dewi yang dipahami masyarakat Yunani juga biasa melakukan tindakan imoral sebagaimana penduduk Yunani. Sehinnga sebenarnya tidak ada alasan metafisik yang kokoh yang mendorong tegaknya etika dalam masyarakat Yunani.
Dikarenakan keterbatasan sumber tentang hakikat manusia, maka menurut Al Attas, Aristoteles mencoba melakukan telaah rasional tentang apa itu manusia yang membedakannya dengan entitas lain selainnya. Ia membuat klasifikasi makhluk hidup yang membedakannya dari makhluk tidak hidup, dan kemudian secara lebih mendalam mencoba mengkasifikasikan beda antara tumbuhan, hewan, dan manusia. Perbedaan fundamental antara manusia dan makhluk hidup lainnya -menurut Aristoteles- adalah ia memiliki akal. Namun mengenai akal ini Aristoteles mengalami kebingungan karena meskipun ia mengafirmasi bahwa akal ini memiliki kaitan dengan jiwa (soul) yang sifatnya imaterial namun karena keterbatasan dari penalaran rasional yang didasarkan pada telaah/metode empiris menyebabkan Aristoteles tidak memiliki keyakinan pasti tentang apakah jiwa akan eksis setelah seorang meninggal misalnya.
Aristoteles juga tidak sanggup memahami apa hakikat dari substansi imaterial ini (jiwa) kecuali hanya mengasumsikannya sebagai satu “daya” yang memampukan manusia mengaktualisasikan potensinya sebagai manusia (sebagaimana misal biji yang dicirikan dengan potensialitas dan hanya akan menjadi aktual ketika ada “daya” yang menggerakkanya untuk tumbuh). Dikarenakan keterbatasan pemahaman akan jiwa yang tidak memadahi tentang jiwa inilah yang membuat Aristoteles juga mengalami kebingunan ketika ia ingin mendefinisikan kebahagiaan (happiness) yang erat kaitannya dengan development (pembangunan). Jika kita menggunakan analogi biji yang berupaya mengaktualisasikan diri menjadi pohon utuh maka development bisa dikatakan sebagai proses gerak aktualisasi diri biji menjadi pohon tersebut sedangkan pohon utuh adalah tujuannya. Dengan kata lain manusia juga dicirikan dengan gerak untuk menjadi manusia seutuhnya. Aktualisasi diri inilah hakikat dari happiness itu sendiri.
Namun karena hakikat manusia sendiri tidak begitu jelas di mata Aristoteles, maka ia menjadi kesulitan pula mendefinisikan happiness secara tepat. Penyimpulan terhadap happiness yang berpatokan pada telaah pada dimensi fisik manusia semata akhirnya menyebabkan Aristoteles sampai pada tesis bahwa kebahagiaan tidak dapat dialami dalam keadaan sadar. Alasannya kebahagiaan yang terlihat secara fisik (emosi) cenderung bersifat sesaat saja.
Sebagai contoh bisa jadi seorang senang dalam kasus A (misal ia senang mendapat nilai bagus) sementara di kasus B (hewan peliharaannya mati) ia mengalami kesedihan. Dengan kata lain ada perubahan emosi yang sangat cepat. Maka kemudian Aristoteles juga menyimpulkan bahwa kebahagiaan sejati hanya mungkin dialami ketika kita telah meninggal (tidak ada lagi perubahan emosi) dan hanya lewat tangan orang lainlah yang kemudian akan menilai apakah seorang tersebut dalam hidupnya diliputi kebahagiaan atau tidak.
Di mata Al Attas kesimpulan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai setelah mati memiliki problem krusial karena yang sejatinya diingini oleh setiap manusia adalah mengerti tentang kebahagiaan di dunia saat ini juga dan bukan setelah ia meninggal. Karena setelah meninggal itu pun melalui penilaian orang lain maka hakikatnya penilaian tersebut tidak berguna sama sekali bagi orang tersebut. Alasannya karena ia tidak dapat lagi memahami apa yang orang katakan tentang dirinya. Sebagai catatan Aristoteles sendiri tidak yakin dengan kekekalan ruh pasca-kematian sehingga kebahagiaan semacam itu dapat dikatakan absurd.
Bertolak kembali dari asumsi Aristoteles bahwa kebahagiaan terkait dengan aktualisasi dari manusia, maka aktualisasi diri ini mesti mewujud dalam bentuk aktualisasi dari esensi manusia (ibaratnya biji memiliki esensi sebagai pohon utuh). Dengan kata lain kebahagiaan sejati tidak dapat dilepaskan dari penemuan hakikat manusia itu sendiri yang berdimensi ilmu bukan berciri hedonistik. Menariknya ada seorang akademisi Barat yang memahami kebahagiaan dalam arti metasfisik-eksistensial semacam ini yakni Heidegger.
Heidegger menyatakan bahwa kecemasan eksistensial (angst) akan terus menghantui seseorang sampai akhir hayatnya (Sein-zum-Tode). Hanya ketika ia mampu menjawab pertanyaan mengenai keterlemparannya (geworfen) ke dunia ini (alias eksistensinya) maka dia dapat mengalami pelampauan terhadap angst. Al Attas juga menyinggung soal pencarian esensi manusia ini dalam konteks Yunani, dimana Plato sempat menyinggung tentang memori sesorang tentang dirinya yang menurutnya telah eksis sebelum lahir di dunia ini. Dapat dikatakan memori ini adalah pintu gerbang menuju “penemuan” diri manusia “sejati” yang sayangnya dalam kasus Plato juga masih “muram” karena ia juga tidak memiliki akses pada sumber wahyu yang utuh sebagaimana juga muridnya Aristoteles.
Al Attas kemudian menjelaskan bahwa berbeda dengan keterbatasan akal manusia dalam kasus Aristoteles dalam rangka menyediakan fondasi metafisik bagi etika yang justru berujung kepada “kekaburan” tentang hakikat manusia, agama menyediakan fondasi metafisik yang lebih kokoh. Alasannya karena agama tidak mengalami problem sumber ilmu sebagaimana kasus Plato dan Aristoteles yang kesulitan mencari sumber pengetahuan yang utuh tentang hakikat manusia. Agama (dalam hal ini Islam) justru menyediakan sumber wahyu yang utuh untuk memahami hakikat dari makhluk bernama manusia.
Dalam Alquran, Al Attas menggarisbawahi soal ayat yang memuat berita tentang adanya perjanjian eksistensial antara manusia dengan Tuhan sebelum ia diturunkan ke dunia. Perjanjian ini menurut Al Attas berlaku baik dalam bentuk jamak yakni seluruh umat manusia (manusia sebagai komunitas) ataupun tunggal yakni individu. Perjanjian inilah yang menandai eksistensi dari manusia saat itu manusia telah menyadari siapa dirinya dan juga Tuhannya yang menjadi lawan bicaranya. Dengan kata lain manusia dapat membedakan dirinya, orang lain, dan juga Tuhan, dimana tanpa kesadaran tersebut komunikasi tidak terjadi.
Perjanjian eksistensial inilah yang sekaligus menandai dimensi teleologis dari eksistensi manusia dimana ia berkomitmen menjadi hamba Allah yang akan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ketundukan sukarela kepada perintah Allah inilah yang sekiranya menjadi fondasi bagi terciptanya kosmos “mini” sebagaimana semesta (kosmos raksasa) yang tunduk pada perintah Allah.
Ingatan akan ketundukan sukarela manusia inilah basis metafisik yang memungkinkan sistem etika tumbuh dengan subur. Tanpa basis metafisik tersebut seorang tidak akan -atau sangat sulit- untuk memilih hidup dalam sebuah sistem etika yang memungkinkan terjadinya harmoni baik pada dirinya sendiri -dimana ia tidak lagi didominasi oleh jiwa kebinatangan- sekaligus juga harmoni dalam masyarakat -dimana tatatan etis dapat tegak-.
Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Al Attas meyakini bahwa upaya membentuk good man yang nantinya menjadi jiwa (soul) dari sebuah kota (city) atau peradaban (tamaddun/Islamic civilization) tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan. Maka tidak mengherankan jika dua filsuf tersebut juga antusias untuk mendirikan sekolah. Begitu pula dengan Al Attas yang kemudian merumuskan dan membumikan filsafat pendidikannya sendiri dalam upaya membentuk good man sekaligus sebagai ikhtiar menegakkan masyarakat madani tersebut. Sistem pendidikan inilah yang mestinya berpusat pada pengajaran etika untuk memastikan tercipta tatanan kosmik baik dalam diri manusia dan juga masyarakatnya.
Namun tidak sebagaimana Aristoteles yang sistem etikanya mengalami problem berupa defisit metafisika, Al Attas berupaya membangun filsafat pendidikannya dengan menjadikan metafisika Islam sebagai fondasi etiknya. Hal inilah yang menjelaskan misalnya mengapa Al Attas menjadikan mata kuliah The Religion of Islam sebagai mata kuliah paling pokok di lembaga pendidikan tingginya ISTAC. Alasannya tidak lain karena ia menjadi fondasi metafisika bagi tegaknya etika. Ia juga menjadi krusial karena, sebagaimana dipahami Heidegger, mampu menjawab pertanyaan mengenai keterlemparan manusia ke dunia ini (alias mengenai eksistensinya). Fondasi metafisik yang kokoh berbasis agama inilah yang memungkinkan manusia mampu mengenal dirinya sendiri sehingga ia dapat melakukan gerak perubahan (development) menuju manusia seutuhnya (insan kamil).
Fondasi metafisik inilah yang juga menjadi prasyarat tegaknya kebahagiaan (happiness) sejati karena melalui pengilmuan atasnya manusia tidak lagi hidup dalam bayang-bayang angst (kecemasan eksistensial). Sebaliknya, ia mampu mengembangkan dirinya dan juga masyarakatnya (development) sebagaimana biji yang tumbuh menghadapi berbagai tantangan alam. Ia akan berupaya sekuat tenaga membangun tatanan kosmos baik pada dirinya sendiri dan pada masyarakat. Fondasi metafisik ini juga sekaligus memberikan harapan bahwa usahanya tersebut tidak akan sia-sia dan ia tidak akan bersedih hati. Alasannya karena apa yang ia usahakan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan -sebagai realisasi dari zikir (remember) akan perjanjian eksistensialnya dengan Tuhan- akan mendapatkan ganjaran pada kemudian hari (akhirat) berupa kenikmatan abadi (surga) dan keterhindaran dari siksaan abadi (neraka).