REJOGJA.CO.ID, Oleh: Fajri Matahati Muhammadin (Dosen Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada)
Dunia seakan langsung bergetar ketika Presiden Prabowo menyebutkan bahwa Indonesia siap mengakui israel. Kata beliau, syaratnya adalah apabila israel bersedia mengakui Palestina secara penuh. Inilah sebenarnya wujud dari two-state solution (solusi dua negara) yang digaungkan oleh mayoritas bangsa di dunia untuk perdamaian di konflik Palestina-israel, di mana kedua negara akan dipisahkan garis pembatas sebagaimana pra-1967 dulu.
Di satu sisi, sebenarnya posisi two-state solution ini bukan hal baru. Sudah lama posisi Indonesia memang seperti itu terhadap konflik israel-Palestina. Barangkali karena pembahasaan Presiden Prabowo yang secara tegas menyebutkan ‘peluang mengakui israel’ yang mungkin lebih terdengar bombastik dibandingkan ‘solusi dua negara’, meskipun artinya sama saja.
Bagi saya, harus dimaklumi kenapa solusi dua negara ini populer. Sudah merupakan ‘kecelakaan’ (yang sangat disengaja) sejarah bahwa israel terlanjur ada dan banyak sekali negara baik yang adidaya maupun bukan yang mendukung eksistensinya. Solusi dua negara pun didukung oleh banyak sekali pihak di dunia, sehingga (di atas kertas, setidaknya) ia memiliki lebih banyak dukungan untuk membantu mewujudkannya. Lagipula, dibandingkan kondisi sekarang yang tidak kunjung damai dan justru tereskalasi menjadi genosida yang lebih buruk, mungkin solusi dua-negara terlihat lebih baik.
Di sisi lain, solusi ini sejatinya sangat pragmatis terhadap kezaliman. Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang paham betul bagaimana berat dan zalimnya penjajahan, dan telah berhasil berjuang keluar darinya. Kita menengok tidak sedikit negara yang akhirnya penjajahnyalah yang ‘menang’, setelah membantai penduduk aslinya sampai habis. Kita ketahui Australia seperti itu, Amerika Serikat juga, dan mungkin sebentar lagi israel.
Hak tidak mungkin lahir dari perbuatan yang bertentangan hukum. Ia merupakan asas hukum yang sangat tua, dalam Syariat difrasakan mabani 'ala bathil fahuwa bathil dan di hukum Barat disebut ex injuria jus non oritur. Misalnya, jika kita mencuri sebuah barang maka tidak sah bagi kita untuk menjual kembali barang tersebut.
Sebagaimana disebut dalam Stimson Doctrine, tidak boleh mengakui sebuah wilayah yang didapatkan melalui agresi atau kekerasan bersenjata. Ironis sekali bahwa Stimson Doctrine ini adalah prinsip politik luar negeri Amerika Serikat (pendukung terbesar israel), dan masih diperdebatkan sejauh mana ia diakui sebagai norma hukum kebiasaan internasional.
Maka ketika Inggris mengkhianati mandatnya atas wilayah Palestina, memfasilitasi munculnya negara israel yang berdiri di atas pemusnahan etnis yang tidak kunjung berhenti sampai sekarang, kenapa malah diberi ruang meskipun hanya sedikit? Pembagian pra-1967 memang tampak lebih baik dari kondisi hari ini. Akan tetapi, harus kita akui dulu bahwa ia jelas masih jauh lebih buruk dari apa yang seharusnya merupakan hak Bangsa Palestina.
Dunia sedang memberikan tekanan yang sangat besar terhadap israel, di mana pendukung-pendukungnya pun sudah mulai banyak yang turut berbalik arah dan ikut menekan. Hal ini termasuk pendukung utama israel, seperti Amerika Serikat, yang masih memberikan dukungan besar di satu sisi, tapi di sisi lain mulai perlahan nampak mencoba menekan israel.
Berbagai organ PBB telah mengeluarkan keputusan tegas meskipun belum mampu menegakkannya, misalnya Majelis Umum dan Mahkamah Internasional yang memerintahkan israel menghentikan genosida dan membongkar pemukiman-pemukiman illegal.
Kita bangga dengan diplomasi Indonesia yang turut serta dalam “jihad diplomasi” di berbagai organ PBB tersebut untuk mendukung Palestina. Tekanan terus masih terus meningkat terhadap israel, dan kita semua sedang menyaksikan sambil berdoa kira-kira kapan akhirnya ia akan menyerah.
Di tengah badai tekanan seperti ini, apakah waktu yang tepat untuk memberikan angin segar kepada israel? Misalnya, beberapa waktu lalu malah ada rencana evakuasi ‘sementara’ seribu warga Palestina ke Indonesia yang ‘kebetulan’ disetujui berbarengan dengan rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk ‘merelokasi’ (maksudnya mengusir) seluruh penduduk Palestina. Yang terbaru, menyebutkan ada peluang pengakuan terhadap israel.
Apakah ini langkah pragmatis yang tepat? Indonesia sendiri punya sejarah. Perjanjian Linggarjati tahun 1946, Indonesia menerima diakui Belanda secara de facto hanya terdiri dari Sumatra, Jawa, dan Madura. Tahun 1948, Perjanjian Renville malah mengurangi lagi wilayah Indonesia yang diakui yaitu Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Tapi, meskipun keputusan pragmatis yang pahit dibuat oleh utusan Indonesia saat itu, pastinya mereka tetap bervisi dan misi membebaskan Indonesia secara total.
Takdir Allah, itulah yang kemudian terjadi. Indonesia hari ini diakui merdeka, dari Sabang sampai Merauke dan dari Timor ke Talaud. Andaikan hari ini Indonesia hanya diakui berwilayah di Sumatra, Jawa Tengah dan Yogyakarta, mungkin tidak bisa kita katakan bahwa Indonesia telah sungguh-sungguh merdeka.
Maka demikian juga Palestina. Masalahnya bukan soal perbedaan agama (Yahudi-Islam-Kristen) ataupun etnis (Arab-Yahudi). Bangsa Yahudi seribu tahun lebih hidup damai di Palestina, sampai israel ‘lahir’ baru kacau seperti ini. Selama israel belum enyah total dari bumi Palestina, maka belum merdekalah Palestina. Selama belum ada keadilan dan justru kezaliman yang dipelihara, tidak akan ada kedamaian yang sesungguhnya.
Mungkin diperlukan siasatan yang “belok sana sini” dulu sebagai batu loncatan untuk kelak mengupayakan tujuan yang ideal. Tapi, tujuan ideal tersebut harus menjadi target yang harga mati diperjuangkan secara terukur dalam jangka panjang.
Apa syarat mengakui israel sebagai negara?
Pengakuan israel atas Palestina sebagai negara dan tidak menyerang tentulah sesuatu yang kita inginkan tapi tentulah tidak cukup. Syarat seperti ini tidak Istimewa, dan merupakan hal biasa dalam hubungan antar negara. Pemulihan terhadap rampasan adalah aspek penting dari keadilan terhadap bangsa yang telah dirampas haknya.
Sebenarnya saya juga tidak menolak total solusi dua negara apabila syarat ini dapat dipenuhi. Jika israel ingin diakui sebagai sebuah negara, silahkan hengkang dari Palestina dan mintalah lahan di wilayah Amerika Serikat atau Jerman atau India yang tampak cinta sekali kepada israel. Dirikanlah israel di sana, lalu kita akui dengan sangat sukacita.