REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Universitas Islam Indonesia (UII) mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan pernyataan sikap terkait praktik berbangsa dan bernegara yang belakangan ini dinilai mengalami kemunduran. Acara pernyataan sikap ini berlangsung di Kampus UII pada Kamis (6/3/2025) sore, diiringi dengan pembacaan puisi oleh para mahasiswa dan dosen yang menggambarkan situasi masyarakat terkini.
Dalam pernyataan sikapnya, Rektor UII, Fathul Wahid, menegaskan bahwa tanda-tanda kemunduran demokrasi di Indonesia semakin nyata. "Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin terancam dengan meningkatnya kasus intimidasi, ancaman kriminalisasi, dan pembungkaman terhadap aktivis, seniman, akademisi, serta jurnalis," ujarnya.
Penggunaan pasal-pasal karet untuk menekan suara-suara kritis serta kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa dan tidak transparan menjadi sorotan utama dalam pernyataan tersebut.
Rektor UII menyatakan marak kasus korupsi yang tidak ditangani secara tegas. Sedangkan narasi yang cenderung mengaburkan fakta turut memperparah situasi. "Efisiensi yang dicanangkan pemerintah tidak selalu berjalan sesuai harapan. Di beberapa sektor, efisiensi justru berdampak negatif pada kualitas pelayanan publik dan program sosial," ungkapnya, Kamis (6/3/2025).
Sebagai langkah konkret, UII mendesak pemerintah untuk:
1. Mendesak pemerintah untuk membuka ruang demokrasi yang lebih luas dengan menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi serta melindungi aktivis, seniman, akademisi, dan jurnalis dari intimidasi dan ancaman kriminalisasi.
2. Menuntut pemerintah luntuk lebih sensitif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat dengan memastikan kebijakan yang diambil didasarkan pada data yang valid dan pendekatan ilmiah.
3. Meminta pemerintah untuk serius dalam melakukan pemberantasan korupsi dengan penegakan hukum yang tegas, transparan, dan tidak pandang bulu, serta memperkuat peran lembaga antikorupsi dan meningkatkan pengawasan anggaran.
4. Menyeru pemerintah untuk menjamin efisiensi yang berlandaskan transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas tanpa mengorbankan kualitas pelayanan publik dan program sosial.
5. Mengingatkan para pejabat negara untuk menjadi teladan dengan menjaga tutur kata, sikap, tindakan, dan gaya hidup yang empatik untuk membangun kepercayaan rakyat.
6. Mengajak masyarakat sipil dan elemen bangsa lainnya untuk berperan aktif dalam mengawasi kebijakan pemerintah dan mengkritisi secara konstruktif demi menciptakan pemerintah yang responsif, adil, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
"Pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani kami dan kesadaran anak bangsa yang melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadilan," kata Fathul Wahid yang juga berharap kemuliaan Ramadhan dapat menjadi momentum untuk perbaikan diri bersama.