Sabtu 15 Feb 2025 17:14 WIB

Kurangi Dampak Perubahan Iklim, UGM Gelar Workshop Sustainable Future Leader

Lima dari sepuluh risiko global terbesar dalam sepuluh tahun adalah isu lingkungan.

Rep: Muhammad Rozy/ Red: Fernan Rahadi
Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar workshop bertajuk Sustainable Future Leader: Enhancing Indonesian Restorative Economy di Ruang Multimedia 1, Gedung Pusat UGM, Kamis (13/2/2025).
Foto: Muhammad Rozy
Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar workshop bertajuk Sustainable Future Leader: Enhancing Indonesian Restorative Economy di Ruang Multimedia 1, Gedung Pusat UGM, Kamis (13/2/2025).

REJOGJA.CO.ID,  YOGYAKARTA -- Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar workshop bertajuk "Sustainable Future Leader: Enhancing Indonesian Restorative Economy" di Ruang Multimedia 1, Gedung Pusat UGM, Kamis (13/2/2025). Acara ini dihadiri oleh para pakar, profesor, dan akademisi dari berbagai bidang.

Rektor UGM, Prof Ova Emilia, membuka acara dengan membahas pentingnya restorasi lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Ia juga menandatangani kontrak kerja sama dengan Yayasan Bambu Lingkungan Lestari.

Ketua Yayasan Bambu Lingkungan Lestari, Monica, menyampaikan harapannya agar diskusi ekonomi restoratif dapat diterapkan di Indonesia. Program ini telah berjalan di 45 ribu desa dan diharapkan dapat membawa perubahan positif.

Mantan Menteri Keuangan RI, Prof Bambang Brodjonegoro, turut memberikan pandangan mengenai dampak negatif perubahan iklim, termasuk keluarnya Amerika dari Paris Agreement dan ancaman cuaca ekstrem bagi Indonesia.

Dalam World Economic Forum 2025, para pemimpin dunia sepakat bahwa lima dari sepuluh risiko global terbesar dalam sepuluh tahun mendatang adalah isu lingkungan, terutama perubahan iklim yang menyebabkan cuaca ekstrem. Pada Oktober 2024, kemarau berkepanjangan menyebabkan gagal panen di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Lembata, NTT. Banjir yang melanda Jawa pada Januari-Februari 2025 juga mengancam ketahanan pangan.

Indonesia memiliki potensi besar dalam mitigasi perubahan iklim melalui solusi berbasis alam (Nature-based Solutions). Bambu, sebagai tanaman dengan pertumbuhan cepat, memiliki potensi penyerapan karbon yang tinggi dan dapat digunakan sebagai material bangunan rendah karbon, bahan bakar alternatif, dan restorasi tanah.

Irawan Assad dari Direktorat Mitigasi Perubahan Iklim menekankan pentingnya strategi dan kebijakan pengendalian perubahan iklim. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau, sangat rentan terhadap risiko perubahan iklim seperti kenaikan muka air laut dan cuaca ekstrem. Tren emisi gas rumah kaca nasional meningkat, dan kenaikan suhu serta muka air laut menjadi ancaman nyata.

Komitmen mitigasi perubahan iklim harus menjadi fokus utama, dengan bambu sebagai salah satu solusi potensial. Regulasi dan kebijakan perlu mengakomodasi pemanfaatan bambu secara luas. Kerja sama antara pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat menjadi pemimpin dalam ekonomi restoratif dan mitigasi perubahan iklim.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement