Jumat 17 Jan 2025 19:01 WIB

MUI: Ajaran Aswaja Nilai Moral untuk Menebarkan Kebaikan

Ahlussunnah wal jamaah merupakan ajaran yang lembut.

Red: Fernan Rahadi
Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Almusawa
Foto: Republika/Havid Al Vizki
Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habib Nabiel Almusawa

REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Habib Nabiel Almusawa menyatakan keprihatinannya terkait tercorengnya akidah ahlussunnah wal jamaah (aswaja) di Indonesia. Saling berebut merasa paling sunnah namun dengan mudah membid’ah dan mengkafirkan orang lain. 

Habib Nabiel menekankan, ahlussunnah wal jamaah atau ajaran yang berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad merupakan ajaran yang lembut, tidak mudah untuk mengkafirkan seseorang atau memecah belah bangsa.

"Ahlussunnah wal jamaah merupakan nilai moral, akhlak Nabi Muhammad yang patut dicontoh umatnya untuk menebar kebaikan, kasih sayang antar sesama, sebagaimana Nabi Muhammad diutus untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Mengklaim paling saleh, paling sunah merupakan bentuk keangkuhan yang bisa merusak nilai nilai keislaman,” ujar Habib Nabiel di Jakarta, Kamis (16/1/2025).

“Merasa paling benar, lalu membid'ahkan kelompok lain, seperti Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj itu kalau saya melihatnya mohon maaf ya itu mirip dengan gejala-gejala kalau zaman dulu itu khawarij, takfiri," katanya.

Menurut Dewan Syuro Majelis Rasulullah SAW ini, secara ushul fiqih, empat mahzab yang dikenal di Indonesia seperti Mazhab Hambali, Mazhab Maliki, Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi'i juga menganut akidah ahlussunnah wal jamaah. Di Indonesia, Aswaja memiliki ciri khas khusus, lebih spesifik karena mengalami adaptasi dan akulturasi dengan budaya lokal, laiknya strategi Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia. 

Habib Nabiel menambahkan, karakter Aswaja yang lekat dengan Indonesia adalah karakter yang moderat.  Aswaja di Indonesia cenderung bisa menyesuaikan diri beradaptasi bisa lebih toleran ya. Sebaliknya, sikap mudah menghakimi orang lain, ekstremisme dan intoleran itu kurang pas dengan karakter budaya Indonesia, karena bisa menyebabkan konflik. 

“Kalau yang model Salafi Wahabi ini kan apa-apa dia saklek gitu, ini bid’ah ini kufur gitu ya, ziarah misalnya," kata Habib Nabiel. 

Habib Nabiel mengatakan, dalam pandangan orang yang mengaku Salafi, mereka menganggap semua bid’ah, perbuatan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, adalah sesat yang bisa berujung kepada neraka. Padahal, Habib Nabiel menekankan, dalam Imam Syafii bid’ah terbagi menjadi dua, yakni mahmudah (terpuji) dan mazmumah (tercela). Ibnu Hajar Al-asqalani juga mengatakan bid’ah terdiri menjadi dua yakni bi’dah hasanah (baik) dan bid'ah sayyiah (buruk).  Sehingga, menurut Habib Nabiel, perbuatan mendoakan orang yang telah wafat dalam bentuk tahlil atau ziarah, merayakan Isra Miraj adalah sebuah kebaikan. 

Habib Nabiel mengatakan jika terdapat perbedaan, ikhtilaf dalam masalah fikih, tidak bisa dihukumi sesat dan masuk neraka. Jangan sampai ini menjadi perpecahan dan berujung pada konflik berkepanjangan. 

“Punya dalil nggak apa-apa, tapi saling menghormati, nggak boleh mau vonis itu kafir itu syirik. Hendaknya mereka juga menghormati yang seperti itu,” ujar Habib Nabiel yang juga menjadi pengurus Rabithah Alawiyah Indonesia tersebut.

Oleh karena itu Habib Nabiel menyerukan untuk mengembalikan nilai moral, akhlak ahlussunnah wal jamaah. Bagaimana Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk menjaga adab dan menghargai pandangan orang lain. 

“Toleransi ini merupakan bagian dari ajaran Aswaja yang harus kita tegakkan di tengah masyarakat yang semakin plural ini," kata Habib Nabiel.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement