Senin 06 Jan 2025 16:01 WIB

Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Pakar Hukum UGM: Bentuk Kemunduran Demokrasi 

Banyak dampak negatif apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.

Red: Fernan Rahadi
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, dalam acara Sekolah Wartawan dengan tema Money Politics dan Netralitas ASN dalam Pilkada 2024 beberapa waktu lalu.
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, dalam acara Sekolah Wartawan dengan tema Money Politics dan Netralitas ASN dalam Pilkada 2024 beberapa waktu lalu.

REJOGJA.CO.ID, SLEMAN -- Wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat dan memicu perdebatan di berbagai kalangan. Wacana ini pertama kali dilontarkan oleh Ketua Umum Golkar yang kemudian disambut oleh Presiden RI, Prabowo. Usulan ini didasarkan pada sejumlah alasan, seperti efisiensi biaya, pengurangan potensi konflik horizontal, dan peningkatan efektivitas pemerintahan.

Namun, di sisi lain, banyak pihak menilai perubahan ini dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi dan membuka peluang lebih besar bagi praktik politik transaksional. Polemik ini menuntut kajian mendalam untuk memastikan bahwa sistem pilkada yang diterapkan mampu mencerminkan prinsip demokrasi serta menjamin kepentingan rakyat secara luas.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yance Arizona, mengkritik tajam wacana ini. Ia menyebutnya sebagai tanda nyata kemunduran demokrasi di Indonesia. Yance berpendapat hal ini menjadi gejala semakin konkritnya kemunduran demokrasi di Indonesia. Bahkan ia menyebut, jika ide ini direalisasi menjadi taktik awal dalam merusak kelembagaan demokrasi yang telah dibangun sejak reformasi.

Menurutnya, banyak dampak negatif apabila pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD. Pertama, dari sisi politik akan menghilangkan hak politik warga untuk memimpin pemimpin daerah. “Dalam 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah baik yang lahir karena dipilih langsung oleh rakyat," kata Yance dalam siaran pers, Senin (6/1/2025).

Bagi Yance, adanya wacana perubahan sistem pilkada ini menunjukkan lemahnya komitmen orang-orang yang terpilih secara demokratis. Bukannya melembagakan demokrasi, tetapi sebaliknya malah mematikan proses-proses demokratis yang tadinya memungkin mereka untuk duduk di kekuasaan tersebut.

Kedua, akan ada faktor determinan dari partai politik untuk menentukan kepala daerah. Partai politik Indonesia sejauh ini sangat sentralistik, jadi keputusan DPP yang akan diikuti oleh anggota-anggota partainya di daerah. Hal ini menyebabkan proses pemilihan kepala akan menjadi sentralistik dan sangat menguntungkan bagi partai-partai besar saja. "Jadi, partai-partai menengah dan kecil mestinya tidak ikut dalam wacana untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD karena mereka tidak akan dapat apa-apa nanti," papar Yance.

Selain itu, salah satu faktor pendukung dari tercetusnya wacana perubahan sistem pilkada ini berkaitan dengan penghematan dana pilkada serta sebagai upaya pemutusan praktik politik uang yang marak dilakukan dalam masa kampanye. Namun, Yance mengungkapkan bahwa hal tersebut bukanlah masalah. Ia menyebutkan bahwa politisi seharusnya efisiensi dapat dilakukan pada dana politik, misalnya seperti mengurangi pembiayaan perjalanan dinas untuk penyelenggara atau rapat rutin yang dilakukan dalam periode pilkada tersebut. Dana yang telah diefisiensikan tersebut diharapkan dapat diarahkan lebih banyak untuk pengawasan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di tempat masing-masing. Daripada mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah, Yance merasa hal ini dapat diatasi apabila pemerintah dapat memperbaiki efisiensi anggaran dan menindak tegas pelaku politik uang melalui lembaga-lembaga berwenang yang telah dibentuk.

Menurut Yance, perlu ada desakan yang kuat dari masyarakat bahwa upaya untuk mengubah sistem pilkada ini hanya akal-akalan saja untuk menghilangkan suara rakyat dan mensentralisasikan kekuasaan. Dirinya juga menjelaskan kondisi politik saat ini dengan kasus-kasus aparatur negara yang seharusnya netral, tetapi dalam beberapa kesempatan menunjukkan keberpihakannya dengan ikut dalam kampanye dan terlibat dalam mengkondisikan calon kepala daerah yang diinginkan. Situasi ini tentu akan semakin keruh apabila wacana perubahan sistem pilkada diloloskan. “Ke depan akan sangat mudah bagi pemerintah untuk menentukan siapa yang menjadi kepala daerah sehingga rakyat perlu menyuarakan itu," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement