REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah sukses digelar. Namun, meskipun proses pemilu berjalan dengan lancar, narasi delegitimasi terhadap sistem demokrasi masih mengemuka. Hal ini utamanya dipicu oleh saling klaim kemenangan berdasarkan hasil hitung cepat (quick count), yang tidak hanya menimbulkan sengketa pemilu, tetapi juga menimbulkan ketegangan sosial.
Dosen Politik Universitas Indonesia, Cecep Hidayat menilai meskipun Pilkada 2024 terlaksana dengan baik, ketidakpuasan terhadap hasilnya sering kali memicu ketegangan yang bisa mengancam stabilitas sosial dan politik. Kondisi ini tentu berbahaya karena bisa berdampak buruk di masyarakat, yang dapat menyebabkan perpecahan antar anak bangsa.
“Tantangannya bisa jadi sengketa Pemilu, itu sering memicu konflik,” ucap Cecep Hidayat di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia menilai, fenomena ini juga menciptakan narasi negatif terhadap sistem demokrasi. Hal ini ditujukan dengan muncul adanya beberapa kelompok yang mengglorifikasi konflik pemilu sebagai preseden buruk. Narasi semacam ini tidak hanya merusak citra demokrasi, tetapi juga bisa memecah belah masyarakat yang sudah terbiasa hidup berdampingan dalam keragaman.
“Tantangan pasca Pilkada, manipulasi-informasi, berita bohong atau hoaks bisa memperkeruh situasi,” ucap Cecep, yang juga menjadi Executive Director Indonesian Strategic Research (ISR) tersebut.
Cecep mengatakan untuk mencegah terjadinya konflik yang berkembang perlu adanya etika politik yang baik dari para pimpinan partai dan para calon untuk tidak memperuncing polarisasi di masyarakat akibat perbedaan pilihan di Pilkada. Perlu menahan ego dan menahan diri untuk tidak saling menghujat atau menyebar informasi palsu.
Untuk itu, Cecep menyerukan perlu adanya rekonsiliasi pasca Pilkada untuk kembali merajut persatuan bangsa. Ia mendorong adanya pernyataan bersama antar elite politik dan para calon kepala daerah untuk memperkuat narasi kebangsaan dan menekankan pentingnya persatuan bangsa.
“Perlu adanya dialog antar pihak, semisal mengadakan forum terbuka untuk antara kandidat ya masih mengenai isu-isu pokok di wilayah masing-masing," katanya.
Cecep juga menegaskan perlu adanya partisipasi tokoh agama atau tokoh masyarakat di level bawah, untuk menyelenggarakan acara bersama, dan menggunakan pengaruh mereka dalam menyebarkan pesan damai dan juga kerukunan.
“Melakukan kampanye budaya seni, olahraga atau produksi lokal, atau gotong royong untuk memperat hubungan warga,” kata Cecep.
Di samping itu, Cecep juga menyoroti pentingnya peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan penegak hukum dalam memastikan bahwa proses pemilu berjalan dengan transparansi dan keadilan yang tinggi. Menurutnya, dalam menghadapi pandangan ekstrem tersebut perlu dilakukan pendekatan dialog dan penegakan hukum.
“Mengatasi kelompok yang menyebarkan narasi ekstrem tersebut, harus melalui dialog dan juga tindakan hukum jika diperlukan,” ujar Cecep.
Harapannya, dengan langkah-langkah yang tepat, rekonsiliasi dan political will yang baik, pemerintah diharapkan dapat terus menguatkan sistem demokrasi dan mencegah terjadinya perpecahan yang dapat merugikan kepentingan bersama.