REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Kesaktian Pancasila kembali mengingatkan semua akan posisinya sebagai pemersatu bangsa di tengah ancaman intoleransi dan ekstremisme. Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) dan Ketua Tanfidziyah PBNU, Alissa Wahid menekankan pentingnya menjaga keseimbangan identitas sebagai kunci untuk menangkal fanatisme berlebihan.
Alissa Wahid menyoroti pentingnya penggunaan kerangka konstitusi dalam merespons isu-isu sensitif terkait keberagaman. Menurutnya, konstitusi menjadi ukuran yang lebih jelas dan universal dalam menyikapi keberagaman.
“Ketika kita memberikan respons atas suatu kejadian, maka harus ada pengukuran yang jelas dan disepakati oleh semua pihak yang terlibat. Ruang dialog yang ada harus dioptimalkan untuk menumbuhkan toleransi dan mencegah intoleransi. Semangatnya harus sama, yaitu untuk merawat kebangsaan, bukan apologetik atau pembelaan terhadap tindakan diluar hukum yang berlaku,” terang Alissa beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Alissa mengungkapkan bahwa seringkali masyarakat Indonesia disuguhkan dengan pemahaman beragama yang menggebu-gebu, namun kehilangan substansinya sebagai sesama manusia yang bertuhan. Demi meningkatkan engagement (keterlibatan) atau antusiasme para jamaahnya, beberapa tokoh agama dengan mudahnya menghembuskan narasi intoleransi, hingga ajakan kekerasan, tanpa memikirkan implikasinya terhadap bangsa dan negara.
Pemuka agama yang seperti ini, menurut Alissa, seringkali mengajak untuk mendahulukan semangat beragama secara berlebihan. Apabila masyarakat Indonesia menemukan ada pemuka agama yang mengajak untuk mendahulukan semangat beragama, namun dengan konsekuensi menganggap sesama warga Indonesia yang tidak sekelompok dengan mereka sebagai musuh, menurut Alissa sebaiknya jangan diikuti.
Ia juga mengingatkan bahwa ada kalanya aturan negara harus diutamakan meskipun berbeda dengan ajaran agama tertentu. "Ada hal-hal yang mungkin oleh agama saya diperbolehkan, tetapi tidak diperbolehkan di Indonesia. Oleh karenanya, sebagai umat beragama, kita harus cerdas dalam menempatkan diri. Jangan sampai dengan dalih menegakkan keimanan, namun sejatinya menggerus hak umat beragama di luar kelompoknya," ujar Alissa.
Menurut Alissa, kunci untuk menghindari fanatisme berlebihan adalah dengan menjaga keseimbangan tiga identitas dalam diri setiap warga negara. "Yang paling penting itu adalah kita selalu mengingat bahwa dalam diri kita itu satu, kita punya kita adalah penganut agama. Yang kedua, kita juga punya identitas sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, kita bagian dari umat manusia," jelasnya.
Ia juga menegaskan kembali peran penting Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa yang mampu mengakomodasi keberagaman sekaligus menangkal ekstremisme. Dengan menjaga keseimbangan antara identitas agama, kewarganegaraan, dan kemanusiaan, diharapkan masyarakat Indonesia dapat terus membangun toleransi dan menghindari fanatisme berlebihan yang dapat mengancam persatuan bangsa.
Walaupun kebanyakan para pelaku kekerasan berbasis agama di Indonesia memiliki latar belakang agama Islam, Alissa kembali menegaskan bahwa tindakan ekstremisme itu tidak terkait dengan agama tertentu.
Menurutnya, kekerasan berbasis agama, jika ingin melihatnya dengan lebih komprehensif, maka akan sampai pada kesimpulan bahwa agama mayoritas dari suatu wilayah atau negara akan cenderung lebih banyak melakukan kekerasan mengatasnamakan agamanya.
Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di negara seperti Myanmar yang mayoritas beragama Buddha, ataupun India yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Baik Myanmar maupun India terdapat banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama mayoritasnya.
Alissa berharap agar semua pihak, khususnya para pemuka agama di Indonesia, baik yang minoritas maupun mayoritas, memprioritaskan pemahaman moderasi beragama di lingkungannya masing-masing. Hal ini ditujukan agar seluruh kelompok beragama tidak gagap dalam menyikapi perbedaan agama, sehingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan lebih resisten terhadap upaya polarisasi yang justru menguntungkan kelompok tertentu.
“Kalau mengutip pesan dari Mahatma Gandhi, ‘an eye for an eye will make the world blind.’ Jika orientasi kita ketika berkonflik dengan suatu pihak atau kelompok tertentu dengan saling melukai dan membalas keburukan dengan keburukan, maka penderitaan yang dialami oleh semua pihak yang terlibat tidak akan pernah selesai,” pungkas Alissa.