Jumat 24 Nov 2023 21:12 WIB

Ancaman Krisis Pangan, Masyarakat Ngawi Diajak Jaga Kedaulatan Pangan Indonesia

Alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah mencapai hampir 100 ribu hektare.

Red: Fernan Rahadi
Acara Sarasehan dan Serap Aspirasi Masyarakat Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Ngawi dengan tema Otonomi Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat di Pendopo Widya Graha Bupati Ngawi, Jumat (24/11/2023).
Foto: dokpri
Acara Sarasehan dan Serap Aspirasi Masyarakat Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Ngawi dengan tema Otonomi Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat di Pendopo Widya Graha Bupati Ngawi, Jumat (24/11/2023).

REJOGJA.CO.ID, NGAWI -- Krisis pangan diperkirakan menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi masyarakat dunia menjelang tahun 2040 hingga 2050 mendatang. Bahkan Badan Pangan Dunia memprediksi akan terjadi peningkatan kebutuhan pangan sebesar 60 persen di tahun tersebut dibandingkan sekarang. 

Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti berujar hal ini harus benar-benar menjadi perhatian pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah, termasuk di Kabupaten Ngawi, sebagai penghasil beras terbesar di Indonesia. Tidak hanya mencari solusi untuk swasembada, tetapi juga mengambil peluang. Karena Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. 

"Apalagi Indonesia juga akan mengalami ledakan jumlah penduduk usia produktif, mencapai 70 persen populasi dari total penduduk di Indonesia. Ini artinya, Kabupaten Ngawi adalah salah satu penjaga kedaulatan pangan Indonesia. Sehingga, sudah seharusnya, orientasi pembangunan desa-desa di Kabupaten Ngawi terintegrasi untuk tetap memastikan Kabupaten ini sebagai Sentra penghasil Beras terbesar di Jawa Timur dan Indonesia," ujar LaNyalla di acara Sarasehan dan Serap Aspirasi Masyarakat Asosiasi Kepala Desa Kabupaten Ngawi dengan tema "Otonomi Desa untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat", di Pendopo Widya Graha Bupati Ngawi, Jumat (24/11/2023). 

LaNyalla menilai tantangan untuk memaksimalkan potensi tersebut masih harus terus diperjuangkan. Karena kondisi di Indonesia dari data Kementerian ATR/BPN, setiap tahun alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah yang terjadi di Indonesia mencapai hampir sekitar 100 ribu hektare. "Artinya, kalau dalam 10 tahun, sudah satu juta hektare. Ini tentu harus dicegah dan dicarikan solusinya," kata LaNyalla. 

Indonesia juga memiliki persoalan tentang luasan lahan sawah yang dimiliki petani di Indonesia. Dihitung rata-rata, sekitar 80 persen petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari satu hektare. 

"Ini tentu menyulitkan bagi kita untuk mengejar swasembada. Apabila dibandingkan dengan petani di Thailand yang rata-rata memiliki lahan dua hektare. Belum lagi bila kita melihat apa yang dilakukan negara-negara lain, yang sudah menjalankan BioTeknologi Agrikultural dalam pertanian atau perkebunan mereka," ujar LaNyalla. 

Amerika Serikat misalnya, memiliki luas tanaman berbasis bioTeknologi terbesar di dunia, yaitu 75 juta hektare untuk tanaman kapas, kedelai, dan jagung. Sedangkan Brasil menggunakan BioTeknologi untuk tanaman kedelai dengan luas lebih dari 50 juta hektare. Begitu juga Argentina memiliki tanaman berbasis BioTeknologi seluas 23 juta hektare. 

Sementara di Asia, India tercatat menggunakan tanaman berbasis BioTeknologi seluas 11,4 juta hektare. Sedangkan Cina, menggunakan BioTeknologi untuk menyulap lahan gurun mereka menjadi bisa ditanami.

"Pelajaran yang bisa kita ambil adalah orientasi pembangunan di sektor kedaulatan pangan sedang dilakukan oleh negara-negara di dunia ini. Tetapi Indonesia masih memilih jalan pintas, untuk impor bahan kebutuhan pangan dan Sembako. Ini karena adanya segelintir orang yang diuntungkan sebagai importir produk konsumsi," ungkap LaNyalla. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya Indonesia menerapkan secara utuh kedaulatan negara dengan cara kembali kepada asas dan sistem bernegara yang sesuai dengan falsafah dasar bangsa dan negara ini, yaitu Pancasila. Perlu diketahui, perubahan atau amandemen konstitusi yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 telah mengubah asas dan sistem bernegara Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia mengadopsi sistem bernegara ala barat yang individualistik dan ekonomi yang semakin kapitalistik liberal.

Sistem ekonomi negara ini dikendalikan oleh ekonomi pasar. Negara tidak lagi total berdaulat atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Karena semua bisa diberikan kepada investor dalam bentuk konsesi lahan atau izin pertambangan. 

Padahal konsep ekonomi kesejahteraan yang dirumuskan para pendiri bangsa, yang tertulis di dalam UUD naskah sebelum amandemen berikut penjelasannya, sama sekali bukan seperti itu. Negara justru memegang kendali untuk sektor-sektor kekayaan alam dan cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak. Sehingga ada batasan yang tegas, mana sektor publik yang harus dikuasai negara, dan mana sektor komersial yang boleh dikuasai orang per orang.

"Sehingga saya mendorong semua elemen bangsa ini, termasuk bapak dan ibu kepala desa melahirkan konsensus bersama agar kita kembali kepada sistem bernegara yang telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Dengan cara kita sepakati untuk kembali kepada UUD 1945 Naskah Asli, untuk kemudian kita perbaiki kekurangannya dengan cara yang benar melalui Teknik Adendum. Bukan dengan mengganti total sistem bernegaranya," ujar LaNyalla. 

Bupati Ngawi Ony Anwar Harsono mengatakan, wilayahnya sudah tidak ada desa tertinggal. Ony juga menjelaskan bahwa pihaknya sudah menggunakan digital dalam mengelola desa. 

"Kami juga menggenjot transparansi dengan menggunakan aplikasi, sehingga Alhamdulillah kepala desa kami tidak ada urusan dengan hukum. Setiap desa juga sudah terkoneksi, karena setiap desa punya forum sendiri di website. Jadi tidak ada gejolak di desa karena terdeteksi secara dini. Dengan kehadiran Pak Nyalla kami mohon arahan masukan bagi kami pemerintah kabupaten Ngawi, semoga kami menjadi lebih baik lagi," kata Bupati. 

Dalam acara tersebut, Ekonom Politik Ichsanuddin Noorsy memaparkan, ada beberapa hal yang harus disiapkan Desa untuk menjaga desanya agar tetap berdaulat di berbagai aspek. 

“Bikin sebuah badan yang menjadi pilar pelindung, penopang, agar saat nanti ada anggaran asing masuk ke Desa, ada penjaga dari serbuan itu. Jadi pilar itulah nanti yang melindungi dari investor-investor asing yang niatnya mau menyerbu desa tersebut. Jadi desa tetap mandiri dan kuat," kata Noorsy. 

Sementara Dosen Politik UI, Mulyadi mengatakan, masyarakat desa itu harus juga melek politik. Dia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ketua DPD RI bahwa kedaulatan pangan harus dijaga dan semua berawal dari Desa. Mulyadi menilai sesungguhnya Desa itu harus mendapatkan otonomi penuh agar kedaulatan pangan terjaga. 

"Jadi mau masa jabatan 10 tahun sampai 100 tahun, Desa itu harus bisa menentukan dirinya sendiri. Karena di situlah garda terdepan untuk menjaga masyarakat kita dari kemakmuran dan kesejahteraan," katanya.

Dalam acara tersebut, Bupati Ngawi ditemani Wakil Bupati Dwi Rianto Jatmiko dan Sekda Kabupaten Ngawi Mohammad Sodiq Triwidyanto. Selain itu hadir juga Kepala OPD Kabupaten Ngawi, Camat dan Kepala Desa se Kabupaten Ngawi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement