REJOGJA.CO.ID, Oleh: Deasi Widya (Analis kebijakan ekonomi dan keuangan internasional pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan)
Bencana dan Indonesia bagai sahabat yang karib sejak lama. Tahun ini, dari Januari sampai awal Oktober saja sudah tercatat lebih dari 3.000 bencana terjadi di sejumlah wilayah Indonesia dengan berbagai jenisnya. Julukan supermarket hingga laboratorium bencana lekat disematkan untuk negara kita oleh masyarakat dunia.
Pemerintah tentu tak tinggal diam. Sejak 2018 telah disusun strategi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang merupakan kerangka bagi negara untuk membiayai respons dan pemulihan bencana. PARB menjadi strategi yang diterapkan sebagai upaya menanggulangi kesenjangan pembiayaan akibat terjadinya bencana, dengan kapasitas keuangan negara.
Bauran instrumen pendanaan bencana yang ada di dalamnya sebagian telah dilaksanakan. Sementara sebagian lainnya masih terus dikembangkan.
Pelaksanaan strategi dan berbagai kebijakan yang diterapkan Pemerintah Indonesia dengan beragam kemajuan serta pekerjaan rumahnya telah menjadi rujukan bagi banyak negara, termasuk para tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Diskusi kebencanaan sangat krusial mengingat dampak keuangan yang diakibatkan hampir setara dengan 0,25 persen ekonomi kawasan setiap tahunnya. Ditambah lagi, ASEAN juga merupakan wilayah paling rawan bencana di dunia. Lebih dari 50 persen kematian akibat bencana alam secara global terjadi di kawasan pada rentang waktu 2004-2014. Sehingga, pengurangan risiko bencana pun menjadi bagian dalam prioritas utama ASEAN.
Tak pelak, sebagai ketua di tahun 2023, Indonesia berambisi untuk membawa pembahasan strategis terkait isu bencana menjadi output yang memberikan manfaat nyata baik dalam tataran nasional maupun regional.
Keketuaan di ASEAN pun menunjukkan kepemimpinan Indonesia pada bahasan strategis pendanaan risiko bencana. Diwakili Kementerian Keuangan, tahun ini Indonesia merupakan Chair dalam ASEAN Cross Sectoral Coordination Committee on Disaster Risk Financing and Insurance (ACSCC-DRFI).
Forum tersebut secara spesifik membahas tiga pilar. Risk Assessment, bercita-cita untuk mengembangkan data dan landasan analitis yang kuat demi pemahaman tentang risiko bencana yang lebih baik. Risk Advisory, merancang solusi pendanaan atau asuransi risiko yang inovatif dalam penanggulangan dampak bencana. Capacity Building, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan negara anggota dalam menetapkan dan mengimplementasikan aspek kunci dari pembiayaan risiko bencana.
Implementasi Keketuaan Indonesia dalam ASEAN Chairmanship 2023, khususnya pada jalur keuangan, berhasil mencapai target yang diharapkan. Sejalan dengan pandangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, momentum Keketuaan ASEAN menjadi fundamental bukan hanya untuk mengukuhkan peran sebagai pemimpin di kawasan, tetapi juga memastikan pembahasan atas berbagai agenda dalam forum seiring dengan kepentingan Indonesia, termasuk pada topik diskusi terkait bencana.
Agenda dan pencapaian Indonesia merupakan bagian dari upaya memperkokoh posisi kawasan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia. ASEAN sebagai Epicentrum of Growth.
Pertama, di bawah kepemimpinan Indonesia, forum berhasil menyepakati penyelesaian platform ASEAN-DRFI2 sebagai basis data yang dapat digunakan untuk menghitung ekposur finansial saat terjadinya bencana. Platform juga dapat dimanfaatkan oleh negara anggota untuk menilai, menganalisis dan menindaklanjuti kesenjangan pendanaan yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Harapannya, kebijakan yang diambil masing-masing pemerintahan dalam setiap fase bencana, dapat menjadi lebih tepat dan akurat dengan mempertimbangkan data yang dihasilkan melalui platform tersebut.
Melalui pengumpulan data pada platform ini, kerugian ekonomi akibat bencana, klaim asuransi, data ekonomi terkait lainnya, serta pengembangan model penilaian risiko, dapat diproyeksi.
Sebagai bagian dari pilar Risk Assessment and Risk Advisory yang menjadi pondasi dalam pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data bencana, penyelesaian platform jelas merupakan pencapaian krusial. Nantinya, setiap negara anggota juga akan mendapatkan lokakarya untuk mempelajari cara kerja dan bagaimana memanfaatkan platform secara optimal.
Kedua, Indonesia juga sukses menggalang kesepakatan untuk memperluas cakupan pembahasan forum dengan memasukkan isu risiko kesehatan akibat pandemi. Sebelumnya, pandemi bukan merupakan topik yang didiskusikan.
Mengingat dahsyatnya dampak ekonomi pascapandemi Covid-19 yang telah diakui sebagai bencana non-alam, Indonesia berkeinginan agar kawasan dapat belajar dari pengalaman dan mempersiapkan diri dari segala kemungkinan kembali terjadinya pandemi di masa depan.
Selain itu, urgensinya juga terkait upaya mengatasi kesenjangan pembiayaan dalam rangka menyiapkan respons cepat atas ancaman pandemi jika muncul lagi di wilayah ASEAN. Kolaborasi antara sektor keuangan dan kesehatan, oleh karenanya, amat dibutuhkan untuk memperkuat kapasitas kesehatan kawasan.
Pengembangan kolaborasi antara otoritas keuangan dan kesehatan juga ditujukan untuk meningkatkan dialog serta memperkuat kerja sama regional, sekaligus mengembangkan praktik terbaik dalam penanggulangan pandemi. Termasuk di dalamnya, upaya aksi bersama dalam mendukung penguatan industri kesehatan.
Sangatlah penting bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara holistik lintas sektoral. Sebab, pengaruh bencana meliputi semua aspek kehidupan dan pembangunan.
Kesepakatan tersebut menjadi langkah awal bagi kawasan untuk memajukan kerja sama di kawasan, khususnya dalam memitigasi berbagai risiko yang memiliki implikasi regional.
Ketiga, sebagai bagian dari Capacity Building Pillar, Indonesia yang dinilai unggul untuk strategi pendanaan risiko bencana, juga berbagi pengetahuan serta pengalaman dalam Seminar Implementasi Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana, dan Perlindungan Sosial Adaptif.
Ada kebaruan yang ingin disampaikan Indonesia melalui penyelenggaraan seminar. Kebaruan yang seiring dengan pengembangan strategi PARB. Saat ini, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan pengintegrasiannya dengan peta jalan Perlindungan Sosial Adaptif (PSA).
Sinergi antara PARB dan PSA bertujuan untuk mendapatkan skema pendanaan sosial akibat risiko bencana yang efektif, tepat waktu, berkelanjutan, transparan, dan tepat sasaran, dalam berbagai frekuensi, kejadian, dan besaran.
Sementara istrumen dalam PARB yang berpotensi disinergikan dengan PSA adalah Pooling Fund Bencana (PFB). PFB diharapkan dapat mendukung pembiayaan perluasan program bantuan sosial mulai tahun 2030. Lebih jauh, ketika PSA sudah dijalankan secara penuh dan PFB pun sudah meningkat kapasitasnya, secara bertahap dan selektif, PFB dapat mendanai program PSA dalam setiap fase penanggulangan bencana.
PFB sendiri merupakan inovasi baru yang menjadi pioneer dalam pendanaan risiko bencana di dunia. Meski masih dalam penyiapan operasionalisasinya, Indonesia sudah dirujuk berbagai negara yang hendak belajar atau mengadopsi konsep dasarnya.
Tentu, dengan senang hati Indonesia akan membagi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki. Berbagi dalam sebuah forum internasional tidak hanya mengasah kapasitas institusi, tapi juga menjadi kesempatan berharga untuk mendapatkan pandangan konstruktif dan positif dari berbagai negara mitra.
Kerja sama dan kolaborasi internasional dalam isu kebencanaan, tak terbantahkan menjadi sangat relevan dan esensial. Utamanya, sebagai mekanisme mencari opsi sumber pendanaan bencana, meningkatkan kapasitas, dan juga menemukan solusi untuk masalah bersama.