REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA - Harga BBM jenis Pertamax kembali mengalami kenaikan, yakni dari Rp 13.300 menjadi Rp 14 ribu sejak 1 Oktober 2023 lalu. Sedangkan harga jual Pertalite masih sebesar Rp 10 ribu.
Disparitas harga yang tinggi antara Pertamax dan BBM subsidi tersebut semakin merugikan bisnis Pertashop di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Apalagi banyaknya pengecer BBM subsidi meningkatkan persaingan bisnis Pertashop.
Pemilik salah satu Pertashop di Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY, Cokro Suharjo, mengeluhkan kenaikan harga Pertamax yang mendorong konsumen untuk lebih memilih membeli Pertalite, meskipun lokasinya jauh.
"Disparitas harga antara Pertamax dan Pertashop makin tinggi mulai dari 2022 naik terus. Harga Rp 13.300 itu mulai berguling teman-teman pemain Pertashop, mulai kolaps saat itu," ungkap Cokro kepada Republika, Rabu (18/10/2023).
Sebelum harga Pertamax perlahan naik dan masih di harga Rp 9.000 per liter, omzet Pertashop milik Cokro sebesar 800-900 liter per hari, dengan keuntungan sekitar Rp 820 per liter. Namun, sejak awal dibuka pada 2021 akhir, bisnisnya hanya mengalami untung selama tiga bulan.
Bahkan jika ditotal hingga Agustus 2023, keuntungannya hanya sebesar Rp 27 juta. Kenaikan harga Pertamax yang terus menerus tidak hanya membuat outlet penjualan BBM non subsidi milik Cokro terguncang.
Di lokasi tempatnya mendirikan Pertashop, sebelumnya terdapat sebanyak tiga Pertashop, dan saat ini hanya bisnisnya yang masih berdiri. "Dari 58 Pertashop di Gunungkidul yang masih buka mungkin hanya sekitar 20. Kalau tetap dibuka kami rugi, ditutup nggak balik modal, ya buah simalakama," ujarnya.
Bisnis Pertashop yang banyak didirikan di wilayah perdesaan juga hadir di sejumlah ponpes. Kehadiran Pertashop di ponpes selain untuk menjamin ketersediaan dan distribusi BBM juga dimaksudkan untuk pemerataan ekonomi dan peluang usaha, melalui pemberdayaan ekonomi pesantren.
Namun, Pertashop milik Ponpes Nurul Quran di Desa Surusunda, Karangpucung, Kabupaten Cilacap, justru saat ini hanya meraih omzet pas-pasan.
"Omzetnya sudah turun jauh, cuma cukup bayar anak-anak pondok yang bekerja di Pertashop dan bayar BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan mereka," ungkap penanggung jawab Pertashop Ponpes Nurul Quran, Sumaryanto.
Pertashop tersebut dikelola oleh tiga orang admin dan dua orang operator. Saat dibuka pada April 2021, omzetnya sekitar 400 liter per hari dan masih cukup untuk biaya operasional dan biaya lainnya.
Kemudian perlahan turun hingga sekarang hanya sekitar 250 liter per hari yang menurut Sumaryanto jauh sekali dari yang disampaikan Pertamina pada awalnya. Permasalahan utama, adalah disparitas harga Pertamax dan Pertalite yang terlampau jauh.
Padahal menurut Sumaryanto, apabila pemerintah ingin menghilangkan RON90, disparitas harga BBM bersubsidi tersebut dengan non subsidi seperti Pertamax harusnya diperkecil.
Daya beli masyarakat yang berkurang terhadap Pertamax juga didorong oleh kurangnya pengawasan terhadap BBM bersubsidi, sehingga banyak pengecer Pertalite, seperti Pertamini, yang kemungkinan besar mendapatkan BBM bersubsidi itu secara ilegal.
"Satu Pertashop di pesantren bersaing dengan 15 Pertamini dalam satu jalur. Itu permasalahan utama adalah oknum-oknum yang memanfaatkan disparitas harga itu untuk kepentingan pribadinya," keluhnya.
Ketua Paguyuban Pengusaha Pertashop Jateng dan DIY, Sadewo, berharap agar pemerintah memenuhi usulan mereka yang disampaikan melalui Komisi VII DPR RI pada Juli lalu. Mereka berharap dapat menjual Pertalite hingga gas elpiji tiga kg agar mampu bersaing dengan pengecer lainnya.
Apalagi saat ini dari sekitar 420 pengusaha Pertashop yang bergabung paguyuban, hanya sekitar 200 lebih yang masih bisa bertahan. "Karena kebanyakan pengusaha Pertashop ini kan ambil KUR (kredit usaha rakyat), sekarang mereka nggak untung, tetap buka yang penting bisa bayar cicilan," kata dia.
Saat ini ada beberapa pebisnis Pertashop yang menjual gas elpiji 3kg, namun mereka mengikuti jalur resmi dengan mendaftar sebagai sub agen atau pangkalan gas bersubsidi. Padahal harapannya, Pertamina langsung dapat menjadikan mereka sebagai sub agen secara resmi.
"Kalau kita ke agen secara pribadi, belum tentu kuota ada, jadi kami harap Pertamina menunjuk kami sebagai pangkalan," ujarnya.
Faktor lain yang tidak kalah penting, pendistribusian dan pengawasan Pertalite yang masih kurang, sehingga banyak pengecer ilegal. Ironisnya, selain tidak ada kewajiban membayar pajak, para pengecer Pertalite bisa mendapatkan untung Rp 2,000 per liter, dengan menjual dengan ukuran botol yang tidak sampai seliter.
Kendati begitu, ditangkapnya pelaku penyalahgunaan BBM bersubsidi pada beberapa waktu lalu di Yogyakarta menjadi angin segar bagi pengusaha Pertashop di Jateng dan DIY. Ini menunjukkan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dan pihak berwajib telah turun untuk menindak para oknum penyalahgunaan BBM Pertalite.
"Alhamdulilah mulai membantu kita dan masyarakat supaya Pertalite benar-benar digunakan oleh masyarakat kecil. Kami harapkan lebih signifikan lagi pengawasannya," katanya.