REJOGJA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Ari Wibowo, menilai pembunuhan yang disertai dengan mutilasi yang akhir-akhir ini marak terjadi bukan karena ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada pelaku-pelaku sebelumnya. Sebab menurutnya banyak juga pelaku pembunuhan mutilasi yang dijatuhi pidana mati.
"Namun, menurut saya, mutilasi yang menyertai pembunuhan tersebut dilakukan untuk menyembunyikan kejahatannya. Misalnya, dengan dimutilasi, korban bisa dibuang ke lokasi yang jauh dari lokasi pembunuhan atau lebih gampang untuk dikubur. Bisa juga bagian tubuh korban dibuang secara terpisah-pisah. Semua itu dilakukan untuk menyembunyikan kejahatannya," kata Ari kepada Republika.co.id, Senin (17/7/2023).
Ari mengatakan, pelaku akan kesulitan menyembunyikan kejahatannya jika tubuh korban masih utuh. Hal tersebut justru hanya akan memudahkan kepolisian dalam melakukan pelacakan.
"Sekalipun modus pembunuhan yang demikian hampir selalu bisa ditemukan pelakunya, tetap juga (pembunuhan mutilasi) masih dilakukan hingga akhir-akhir ini," ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam teori kriminologi, kejahatan dibagi menjadi dua, yaitu white collar crime (WCC) dan blue collar crime (BCC). Menurut dia, WCC biasa disebut dengan modern crime dengan ciri-ciri antara lain perbuatannya dilakukan dengan cara yang halus (non-kekerasan) serta pelakunya adalah orang yang berpengetahuan atau memiliki kedudukan sosial ekonomi yang tinggi. Sementara BCC sebaliknya, dikenal dengan traditional crime, dilakukan dengan cara kekerasan dan pelakunya orang yang tidak atau kurang berpendidikan.
"Pembunuhan ini merupakan BCC sehingga pelakunya memiliki wawasan yang sangat terbatas sehingga meskipun selama ini selalu bisa dibongkar, tapi modus klasik tersebut masih tetap saja digunakan," katanya.
Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, hakim tidak memvonis mati pelalu mutilasi. Hal tersebut karena ada hal-hal yang dipertimbangkan oleh hakim sebagai alasan yang memperingan, misalnya terdakwa mengakui perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulanginya, terdakwa bersikap sopan selama pemeriksaan, dan lain sebagainya.
"Kalau diputus dengan pidana mati, biasanya tidak ada alasan yang meringankan, jadi semuanya memberatkan, misalnya, terdakwa telah melakukan perbuatan keji yang tidak berperikemanusiaan, terdakwa telah melakukan perbuatan keji yang meninggalkan luka mendalam dari keluarga korban dan lain-lain," kata dia.
"Sesuai dengan laporan polisi yang diterbitkan oleh Polresta Sleman, kita akan menindaklanjuti dengan proses penyidikan dengan Pasal 340, jadi proses pembunuhan berencana," ujar Dirreskrimum Polda DIY Kombes FX Endriadi Ahad (16/7/2023).