Oleh : Muhaya Almira Farida*
REJOGJA.CO.ID, Jumlah perokok di Indonesia meningkat signifikan dari tahun ke tahun. Data dari Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021 menunjukkan jumlah perokok dewasa di Indonesia meningkat sebesar 8,8 juta dari 60,3 juta perokok pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021.
Angka ini menunjukkan 34,5 persen dari orang dewasa di Indonesia ialah perokok aktif. Kenaikan perokok juga terjadi di perokok elektronik sebanyak 10 kali lipat dari 0,3 persen pada tahun 2011 menjadi 3 persen pada tahun 2021.
Merokok merupakan aktivitas yang sangat merugikan kesehatan, tidak hanya bagi perokok itu sendiri namun juga orang lain yang ada di sekitar perokok. Menurut Kementerian Kesehatan, dalam satu batang rokok terdapat lebih dari 4.000 jenis senyawa kimia, 400 zat berbahaya, dan 43 zat penyebab kanker.
Sementara pada rokok elektronik, terdapat senyawa kimia berbahaya untuk paru-paru dan enam zat penyebab kanker. Merokok mengakibatkan banyak penyakit dengan biaya kesehatan yang sangat besar seperti kanker, penyakit paru-paru kronis, stroke, diabetes, dan jantung.
Beban biaya kesehatan akibat merokok
Meningkatnya jumlah perokok ini berdampak pada beban biaya kesehatan akibat rokok yang ikut meningkat. Berdasarkan survei Balitbangkes 2017, biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif akibat merokok pada tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp 374 triliun.
Kajian dari Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2021 menunjukkan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan pada tahun 2019 untuk penyakit terkait perilaku merokok sebesar Rp 10,5-15,6 triliun. Angka ini ditaksir setara dengan 20-30 persen subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional sebesar Rp 48,8 triliun.
Beban biaya kesehatan ini akan terus meningkat jika tidak ada upaya pemerintah dalam menekan angka prevalensi perokok di Indonesia.
Pemberlakuan pajak rokok dan cukai tembakau di Indonesia
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, pemerintah menetapkan target persentase perokok anak usia 10-18 tahun dari 9,1 persen pada tahun 2019 turun menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. Salah satu kebijakan pemerintah dalam melindungi masyarakat dari bahaya rokok ialah dengan pemberlakuan pajak rokok sebesar 10 persen dari cukai tembakau.
Sementara untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok, pemerintah memberlakukan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 57 persen pada tahun 2020. Besaran CHT ini kemudian naik rata-rata sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024.
Pemerintah juga meningkatkan cukai rokok elektronik rata-rata 15 persen untuk rokok elektrik dan 6 persen untuk produk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) dengan pemberlakuan setiap tahun naik 15 persen selama lima tahun ke depan.
Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) ini diterimakan ke daerah sebesar 40 persen untuk bidang kesehatan dalam rangka mendukung program jaminan kesehatan nasional.
Dukungan program ini terdiri dari empat kegiatan yaitu pelayanan kesehatan kegiatan promotif/preventif maupun kuratif/rehabilitatif; penyediaan/peningkatan sarana prasarana fasilitas kesehatan; penyediaan/peningkatan sarana prasarana fasilitas sanitasi, pengelolaan limbah, dan air bersih; pembayaran iuran jaminan kesehatan penduduk oleh Pemerintah Daerah termasuk pekerja yang terkena PHK.
Sesuai UU no 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PRD), penerimaan pajak rokok dialokasikan sedikitnya 50 persen untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum. Perpres No 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan merincikan 75 persen dari 50 persen dana tersebut atau setara 37,5 persen digunakan sebagai kontribusi daerah dalam mendukung program jaminan kesehatan.
Belajar dari negara tetangga
Data WHO tahun 2013 menunjukkan Thailand dengan prevalensi perokok dewasa sebesar 21,5 persen menerapkan cukai tembakau sebesar 66,59 persen
Negara tetangga yang lain, Filipina dengan angka prevalensi perokok dewasa sebesar 26,7 persen juga menerapkan cukai tembakau sebesar 63,55 persen. Kebijakan kontrol tembakau di Thailand termasuk pengenaan cukai tembakau berhasil menurunkan prevalensi perokok dewasa dari 25,47 persen pada 2001 menjadi 20,7 persen pada 2009.
Penurunan prevalensi perokok ini juga terjadi di Filipina dari 31 persen pada 2008 menjadi 25,4 pada 2013 sejak penerapan cukai tembakau. Thailand mengalokasikan 2 persen dana dari cukai tembakau untuk program pengendalian konsumsi tembakau dan program promosi gaya hidup sehat di masyarakat melalui ThaiHealth.
ThaiHealth melakukan kampanye denormalisasi tembakau secara masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga berhasil menurunkan protes dan meningkatkan kolektabilitas pajak/cukai tembakau. Program ThaiHealth berkolaborasi dengan sektor non kesehatan dan LSM yang berfokus pada advokasi regulasi mengenai kesehatan masyarakat serta berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan dalam kontrol tembakau dan alkohol.
Pemerintah Selandia Baru di akhir tahun 2022 lalu mengesahkan UU tembakau pertama di dunia yang melarang generasi mudanya dimana siapa saja yang lahir setelah tahun 2008 dilarang membeli rokok atau produk tembakau seumur hidupnya. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya sistem kesehatan sebesar 5 miliar dolar atau setara Rp 50 triliun.
Kurangnya upaya promotif dan preventif dalam kebijakan kesehatan
Kebijakan kesehatan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia seringkali masih didominasi dengan pendekatan kuratif atau pengobatan pada masyarakat yang sudah sakit. Padahal pendekatan promotif dan preventif memiliki peran yang tak kalah penting.
Promotif dan preventif merupakan pendekatan bagaimana meningkatkan status kesehatan dan mencegah suatu penyakit. Sedangkan kuratif dan rehabilitatif merupakan pendekatan bagaimana menyembuhkan penyakit dan memulihkan kondisi.
Dalam permasalahan beban biaya kesehatan yang tinggi akibat rokok, ketika pendekatan yang digunakan kuratif, pemerintah akan fokus menanggung biaya pengobatan masyarakat yang sakit terkait perilaku merokok. Upaya pencegahan agar masyarakat tidak merokok dan layanan berhenti merokok pada perokok menjadi terabaikan. Padahal jika tujuan pemerintah ingin menekan biaya kesehatan akibat rokok dalam jangka panjang, hal ini tidak akan tercapai jika masyarakat yang merokok terus bertambah di masa mendatang.
Pemerintah dapat mencontoh strategi yang telah berhasil di negara lain dalam rangka menekan konsumsi rokok. Kerja sama lintas sektor perlu dilakukan untuk melakukan kampanye dalam mempromosikan gaya hidup yang sehat tanpa rokok di sekolah, perkantoran, dan di lingkungan masyarakat. Upaya promosi kesehatan tidak hanya dilakukan melalui edukasi, namun juga dengan membentuk lingkungan yang mendukung.
Penerapan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok pada tahun 2021 baru mencapai 417 dari 514 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, pemerintah pusat dalam hal ini dapat mengadvokasi dan meminta komitmen yang serius dari pemerintah daerah. Keterjangkauan harga rokok yang murah dapat dicegah dengan pemberlakuan pajak dan cukai. Namun jika gencarnya promosi dari perusahaan rokok dibiarkan, rasanya angka perokok di Indonesia akan sulit turun.
Pelarangan iklan rokok secara total dapat dipertimbangkan karena menurut penelitian berhasil menurunkan konsumsi rokok. Media promosi yang edukatif mengenai hidup sehat tanpa rokok atau bahaya merokok seharusnya bisa mengimbangi iklan rokok atau konten promosi rokok yang masif termasuk rokok elektronik melalui media yang strategis seperti iklanTV, billboard, dan internet. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan layanan berhenti merokok di fasilitas kesehatan dengan tenaga medis terlatih yang tersebar di daerah.
*Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada