REJOGJA.CO.ID, SURABAYA -- Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan potensi terjadinya fenomena El Nino pada Agustus 2023. El Nino yang terjadi disebut-sebut berpotensi menyebabkan kebakaran hutan dan lahan hingga kekeringan yang cukup luas di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Pengamat lingkungan Universitas Airlangga (Unair), Wahid Dianbudiyanto menjelaskan, El Nino merupakan fenomena dimana air laut di samudera pasifik lebih panas dari pada suhu biasanya. El Nino, kata Wahid, merupakan bagian dari fenomena yang lebih besar yaitu El-Nino-Southern Oscillation (ENSO), dan bagian lainnya adalah La Nina.
"Jika El Nino merupakan peristiwa memanasnya suhu air di luar batas kewajaran di kawasan Samudera Pasifik, maka La Nina merupakan peristiwa pendinginan air di luar batas kewajaran di area tersebut," kata Wahid, Jumat (5/4/2023).
Wahid menjelaskan, penyebab terjadinya El Nino dan La Nina (ENSO) adalah karena terjadinya Southern Oscillation, yaitu perubahan tekanan udara pada laut tropis Samudera Pasifik. Saat air laut di sisi tropis samudera pasifik memanas, maka atmosfer di atasnya menurun tekanannya.
"Di saat inilah terjadi perubahan pola tiupan angin yang dapat menyebabkan perubahan pola iklim, yang cenderung menghasilkan iklim yang cukup ekstrem," ujar dosen Teknik Lingkungan Unair tersebut.
Perubahan pola tersebut, lanjut Wahid, yang akhirnya meningkatkan potensi dampak El Nino dan La Nina di Indonesia. Permukaan air yang lebih hangat dapat meningkatkan kemungkinan hujan lebih tinggi. Hal itu dikarenakan perpindahan panas melalui media air dan udara meningkat sehingga peristiwa presipitasi atau turunnya air dari atmosfer ke bumi juga ikut meningkat.
"Hal ini berdampak pada meningkatnya intensitas hujan di Amerika Selatan seperti Peru dan Ekuador. Di lain sisi, Indonesia dan Australia mendapatkankan kekeringan dari peristiwa tersebut," kata Wahid.
Wahid melanjutkan, El Nino merupakan fenomena yang cukup sering terjadi. Tercatat Peristiwa El Nino pada 1982-1983 dan 1997-1998 merupakan yang paling intens pada abad ke-20. Bahkan peristiwa pada 1997-1998 menyebabkan ketidakstabilan kondisi dunia. Termasuk kekeringan di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.
Berkaca dari pengalaman, menurut Wahid, mestinya pemerintah dapat belajar untuk meminimalisir dampak yang akan timbul. Pemerintah dapat berkolaborasi dengan beragam pihak, termasuk dengan melakukan edukasi dan kampanye. Selain itu, teknologi modifikasi hujan dapat dilakukan sehingga dapat membantu saat Indonesia dilanda kekeringan panjang.
"Misalkan pada tahun ini, El Nino akan datang ke Indonesia pada Agustus, maka bisa dikampanyekan untuk menyimpan sebanyak-banyaknya air pada reservoir-reservoir yang ada. Delapan tahun lalu, Indonesia kurang siap sehingga dampaknya cukup berat," ujarnya.