REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kejaksaan Tinggi (Kejati) DIY menahan mafia tanah akibat penyalahgunaan tanah kas desa (TKD) di Caturtunggal, Depok, Kabupaten Sleman. Penahanan dilakukan terhadap terduga mafia tanah berinisial RS (33) yang merupakan direktur utama PT Deztama Putri Sentosa.
RS sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Jumat (14/4/2023) terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemanfaatan TKD Caturtunggal oleh PT Deztama Putri Sentosa. Penetapan tersangka ini berdasarkan temuan dua alat bukti berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan bukti transaksi yang dilakukan PT Deztama Putri Sentosa, serta keterangan saksi.
"Modus dalam perkara ini dengan cara sewa sebagian tanah kas desa untuk menguasai sebagian besar tanah desa yang lainnya," kata Kepala Kejati DIY, Ponco Hartanto.
Pengungkapan perkara oleh Kejati DIY dilakukan atas Surat Gubernur DIY Nomor 700/1277/20 Maret 2023, terkait penyampaian LHP Inspektorat DIY yang menemukan kerugian dalam pemanfaatan TKD di Caturtunggal oleh PT Deztama Putri Sentosa. Setidaknya, PT Deztama Putri Sentosa telah merugikan negara lebih dari Rp 2 miliar atas penyalahgunaan TKD di Caturtunggal tersebut.
Ponco menjelaskan kasus ini berawal pada 11 Desember 2015 lalu saat PT Deztama Putri Sentosa mengajukan Proposal Permohonan Sewa TKD Caturtunggal seluas 5.000 meter persegi untuk Area Singgah Hijau, dengan peruntukan berupa area kawasan yang strategis dan didukung oleh fasilitas publik.
Atas permohonan ini, setelah melalui persetujuan kepala desa, BPD, rekomendasi kecamatan, kabupaten, dan Dispertaru DIY, akhirnya disetujui gubernur DIY melalui Surat Keputusan Nomor 43/1Z/2016 Tanggal 7 Oktober 2016 tentang Pemberian Izin kepada Pemerintah Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman Menyewakan Tanah Kas Desa kepada PT Deztama Putri Sentosa.
Pada 2019, terdapat RUPS PT Deztama Putri Sentosa yang membahas penjualan saham, serta mengubah susunan direktur dari Denizar Rahman kepada tersangka RS. Pada 1 Oktober 2020, lanjut Ponco, perusahaan kembali mengajukan proposal permohonan sewa tanah kas Desa Caturtunggal seluas 11.215 meter persegi untuk keperluan Area Singgah Hijau 'Ambarukmo Green Hills'.
"Kemudian, setelah melalui mekanisme permohonan pemanfaatan lahan terhadap tanah kas Desa Caturtunggal seluas 11.215 meter persegi tersebut, sampai saat ini belum mendapatkan izin dari gubernur DIY," jelas Ponco.
Namun, pada 2020 PT Deztama Putri Sentosa mulai melakukan pembangunan permukiman di lahan seluas 5.000 meter persegi dengan bangunan permanen dan tidak sesuai dengan proposal awal. Ponco menuturkan, PT itu telah mengalihkan TKD di Caturtunggal menjadi permukiman kepada pihak ketiga dengan cara disewakan.
Hal ini tidak sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, di mana di dalamnya mengatur salah satu Keistimewaan DIY yaitu terkait Pertanahan, Peraturan Daerah Istimewa DIY Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten, termasuk Peraturan Gubernur DIY Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tanah Kas Desa.
"Ternyata terhadap lahan yang 11.215 meter persegi PT Deztama Putri Sentosa secara melawan hukum tanpa izin pemanfaatan lahan dari gubernur DIY telah membangun permukiman dan menyewakan tanah kas desa kepada pihak ketiga," ujarnya.
Selain tanpa izin, PT Deztama Putri Sentosa dikatakan tidak membayar uang sewa, membangun tanpa dilengkapi dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (Ho), dan Izin Pengeringan Lahan karena merupakan tanah pertanian.
PT tersebut juga dituding tidak melakukan pembayaran terhadap pensertifikatan TKD yang seharusnya dari pembayaran tersebut menjadi pendapatan negara. "Perbuatan RS telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 2.467.300.000," terang Ponco.
RS pun disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Juga dikenakan pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. "Ancaman hukumannya kalau penjara 20 tahun," ujarnya.