Jumat 02 May 2025 07:23 WIB

Membumikan Kemanusiaan dalam Transformasi Pendidikan Tinggi

Kampus seharusnya menjadi ruang pertumbuhan manusia secara utuh.

Red: Fernan Rahadi
Perguruan Tinggi - ilustrasi
Foto: blogspot.com
Perguruan Tinggi - ilustrasi

REJOGJA.CO.ID,  Oleh: Nurgiyatna*

Transformasi pendidikan tinggi di Indonesia tengah melaju pesat. Perguruan tinggi berpacu untuk mencapai akreditasi unggul, memperbaiki peringkat dunia, dan mendorong inovasi berbasis teknologi. Ini adalah langkah strategis dalam merespons tantangan global dan mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan.

Namun, di tengah gegap gempita transformasi ini, kita perlu mengajukan satu pertanyaan penting: Apakah pendidikan tinggi kita masih berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan?

Jika pendidikan tinggi hanya didekati dari sudut teknis, ekonomi, dan daya saing kerja, kita berisiko melahirkan lulusan yang unggul secara intelektual, namun rapuh secara moral, emosional, dan sosial.

Belakangan ini, kita kerap disuguhi berita tentang individu-individu berpendidikan tinggi, pintar dan sukses dalam karier profesionalnya, yang justru terlibat dalam berbagai pelanggaran etika dan hukum, di antaranya korupsi dan pelecehan seksual. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa arah transformasi pendidikan perlu ditinjau kembali. Perubahan yang sejati semestinya tidak semata terfokus pada mesin dan pasar, tetapi juga berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Kemajuan yang Kehilangan Arah Kemanusiaan

Salah satu kelemahan mendasar dari arah transformasi pendidikan tinggi saat ini adalah kurangnya penekanan pada nilai-nilai humanistik. Kurikulum dan program pengembangan banyak menekankan pada keahlian teknis dan kesiapan kerja, namun minim mengasah etika, empati, kebijaksanaan, dan tanggung jawab sosial. Akibatnya, lulusan mungkin memiliki keterampilan tinggi, tetapi belum tentu siap menjadi pribadi yang etis atau kontributor sejati bagi kesejahteraan masyarakat.

Lebih jauh, obsesi pada peringkat global dan akreditasi terkadang menjebak universitas dalam perlombaan pencitraan. Padahal, kualitas sejati pendidikan bukan sekadar angka atau status internasional, melainkan bagaimana institusi tersebut membentuk karakter, intelektualitas, integritas sivitas akademik, dan semangat untuk berkontribusi positif bagi kehidupan.

Selain itu, pendekatan yang terlalu teknokratik -yang menekankan sains, rekayasa, dan inovasi tanpa landasan etis dan budaya- berpotensi melahirkan generasi yang hebat dalam teknologi, tetapi lemah dalam kemanusiaan. Ini sangat berisiko dalam jangka panjang, terutama ketika teknologi digunakan tanpa pertimbangan nilai dan dampak sosial.

Kesehatan mental dan kesejahteraan mahasiswa dan dosen juga belum menjadi prioritas dalam kerangka transformasi. Di tengah beban kerja tinggi, target internasionalisasi, dan tekanan akademik, aspek kebahagiaan, ketahanan emosi, dan makna hidup justru kurang mendapatkan tempat. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang pertumbuhan manusia secara utuh, bukan hanya tempat mencetak indeks prestasi.

Selain itu, nilai-nilai kultural seperti gotong royong, kebijaksanaan lokal, dan semangat kebersamaan belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam sistem operasional pendidikan tinggi. Padahal, nilai-nilai ini dapat menjadi fondasi penting dalam membangun ekosistem kampus yang inklusif, berempati, dan berorientasi pada kemaslahatan bersama. Tanpa perhatian khusus, transformasi pendidikan tinggi berisiko kehilangan jati dirinya jika tidak berpijak pada kearifan lokal yang relevan dan bermakna bagi masyarakatnya.

Menuju Pendidikan Tinggi yang Membebaskan dan Memanusiakan

Untuk menjawab tantangan-tantangan di atas, perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar transformasi pendidikan tinggi Indonesia lebih berimbang antara aspek pengetahuan, teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan. Langkah-langkah strategis tersebut, diantaranya, dapat diuraikan dalam enam langkah strategis.

Pertama, integrasi nilai-nilai humanistik. Integrasi nilai-nilai humanistik harus menjadi bagian eksplisit dari seluruh proses transformasi: mulai dari tata kelola perguruan tinggi, pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar, hingga riset dan inovasi. Kampus harus mencetak pribadi-pribadi yang tidak hanya mengejar kesuksesan material, tetapi juga memegang teguh dan memperjuangkan prinsip-prinsip kebenaran, kebaikan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, kerangka pembelajaran humanistik. Pendidikan tinggi perlu mengembangkan kerangka pembelajaran humanistik yang sejalan dengan kerangka pembelajaran bidang sains dan teknologi. Kerangka ini bisa mencakup pengembangan nalar kritis, kecerdasan emosional, tanggung jawab sosial, serta kompetensi antarbudaya. Selain itu, model pembelajaran harus mendorong perkembangan karakter, empati, dan ketahanan mental mahasiswa.

Ketiga, ukuran keberhasilan universitas perlu didefinisikan ulang. Keberhasilan bukan hanya dilihat dari naiknya peringkat dalam berbagai skema perangkingan, tetapi juga dari dampak sosial yang dihasilkan: bagaimana riset, lulusan, dan inovasi kampus memberi manfaat nyata bagi masyarakat, lingkungan hidup, dan kesejahteraan bersama.

Keempat, perluasan kolaborasi lintas disiplin. Hal ini menjadi sangat krusial dalam membangun masa depan pendidikan tinggi yang utuh. Integrasi antara ilmu sains, teknologi, dan ilmu-ilmu sosial humaniora diperlukan agar transformasi tidak hanya menghasilkan inovasi yang canggih, tetapi juga berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendekatan multidisipliner ini memungkinkan lahirnya solusi yang tidak hanya efektif secara teknologis, tetapi juga berkeadilan, beretika, dan berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas.

Kelima, budaya kampus harus dibentuk sebagai ruang kasih sayang dan pelayanan. Visi dan misi universitas perlu secara eksplisit mengarah pada penyebaran kebaikan dan kontribusi bagi komunitas lokal dan global. Program community service learning atau pembelajaran berbasis pengabdian masyarakat bisa menjadi wadah mahasiswa berlatih empati dan tanggung jawab sosial secara nyata.

Keenam, strategi dukungan kesehatan mental dan kesejahteraan (mental health and wellbeing) harus menjadi bagian integral dari transformasi kampus. Pusat konseling, pelatihan pengembangan pribadi, dan program-program kesehatan mental lainnya mestinya menjadi bagian dari prioritas program dari perguruan tinggi. Dengan begitu, transformasi bukan hanya mempercepat perubahan, tetapi juga merawat kemanusiaan di dalamnya.

Penutup

Transformasi pendidikan tinggi adalah keniscayaan. Namun, ia tidak boleh kehilangan jiwa. Kita tidak hanya membutuhkan kampus yang canggih secara teknologi dan unggul secara global, tetapi juga kampus yang bijak secara nilai, ramah pada kemanusiaan, dan berakar pada prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran.

Saat ini pemerintah dan perguruan tinggi perlu menata ulang arah perubahan pendidikan tinggi. Perguruan tinggi harus kembali menjadi taman pertumbuhan manusia seutuhnya, yang tidak hanya mengasah akal, tetapi juga merawat hati, menumbuhkan dan menguatkan aspek-aspek keutamaan manusia yang memegang teguh prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran. Karena harapan kebaikan masa depan umat manusia sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang tidak hanya pintar saja, tetapi juga harus peduli dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan bersama.

*Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement