Ahad 20 Apr 2025 07:45 WIB

Pasca-Insiden Keracunan Massal di Klaten, Pakar UGM Soroti Cara Olah Makanan Porsi Besar

Jumlah kasus keracunan makanan seperti ini banyak terjadi setiap tahunnya.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
keracunan makanan (ilustrasi)
Foto: kidshealth.org
keracunan makanan (ilustrasi)

REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA - Insiden keracunan massal yang belum lama ini terjadi di Klaten, Jawa Tengah ikut menjadi sorotan pakar Universitas Gadjah Mada (UGM). Diketahui, ada  127 warga Desa Karangturi menjadi korban keracunan makanan usai menyantap nasi kotak dalam hajatan wayangan pada Sabtu (12/4/2025) lalu.

Dari jumlah tersebut tercatat 47 di rawat di rumah sakit, 80 orang rawat jalan, dan seorang meninggal dunia karena diduga juga mengidap komorbid. Beberapa keluhan yang dirasakan para korban diantaranya seperti sakit perut, mual, muntah, dan diare.

Menyoroti insiden ini, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Prof Sri Raharjo tak menampik bahwa peristiwa keracunan makanan seringkali dialami masyarakat akibat mengonsumsi makanan dalam berbagai acara hajatan. Jumlah kasus keracunan makanan seperti ini banyak terjadi setiap tahunnya, hanya saja ada pihak yang melaporkan dan tidak dilaporkan.

"Sebagian ada yang dipublikasikan oleh media dan ada yang tidak. Sayangnya kasus keracunan semacam ini jarang sekali yang dilanjutkan pemberitaannya hingga hasil uji laboratorium terkait jenis bakteri atau toksinnya yang mungkin menjadi penyebab. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala mengapa upaya untuk meminimalkan terulangnya kasus keracunan makanan tidak efektif," ujarnya, Ahad (20/4/2025).

Menurutnya, kasus keracunan makanan di Klaten terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor secara bersamaan. Pertama terkait dengan kondisi mutu dan keamanan bahan pangan segar yang diolah. Kedua terkait dengan cara mengolah diantaranya kondisi para masak, peralatan dan cara pemakaiannya, kondisi lingkungan, serta waktu pengolahan dan konsumsinya.

Dari sajian makan menurut pemberitaan berupa nasi, rendang daging sapi, krecek, acar, kerupuk dan snack. Namun jika dilihat potensi bahaya makanan, menurutnya, rendang daging sapi dan krecek lah yang memiliki risiko lebih tinggi dibanding sajian acar, kerupuk dan snack.

Dia lantas mempertanyakan apakah kondisi daging sapi segar yang diolah itu terjaga kebersihannya, dingin atau beku. Jika tidak, disebutnya berpotensi memiliki tingkat cemaran bakteri atau toksin cukup tinggi di atas batas normalnya yang dianggap aman.

"Jika untuk hajatan tersebut dibuat 200-300 box, dan tiap kotak berisi sekitar 50 gram daging maka membutuhkan 10-15 kilogram daging segar.  Daging sebanyak itu dimasak beserta bumbunya mungkin menggunakan peralatan masak ukuran rumah tangga, dan biasanya tidak rampung dalam sekali masak," ujarnya.

Kemungkinannya, kata dia, dimasak 3-5 kali. Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan di pagi di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya. Kondisi ini tentu berisiko karena diperkirakan ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi.

"Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga," ungkapnya.

Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00. Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga.

Dengan jeda waktu 12 jam, lanjutnya, cukup waktu bagi bakteri berkembang biak lagi hingga mencapai jumlah yang membahayakan konsumen. Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek bisa saja tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik, sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.

Dia pun tak menutup kemungkinan peristiwa semacam ini akan menimpa masyarakat kembali di waktu yang akan datang di tempat yang berbeda. Oleh karenanya, agar aman mengonsumsi makanan di acara hajatan yang disiapkan secara gotong royong oleh warga, ia menyarankan diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar. Selain itu, perlu diperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.

"Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita terus upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan," ucap dia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement