REJOGJA.CO.ID, Oleh: Mutalazimah (Guru Besar Prodi Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Rakyat Indonesia tentu sering mendengar MBG atau Makanan Bergizi Gratis. Saat debat calon presiden lalu, MBG ini masih menggunakan istilah “makan siang gratis” yang merupakan program unggulan salah satu pasangan calon presiden.
Negara memang mempunyai kewajiban menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh sebab itu pemerintah sangat concern dengan status gizi dan kesehatan, khususnya pada kelompok rawan gizi seperti balita, anak usia sekolah (SD, SMP, SMA) dan ibu hamil, yang dapat ditingkatkan kualitasnya melalui program MBG.
Jika kita menyimak kebijakan pemerintah terkait pemenuhan kebutuhan gizi anak sekolah, MBG ini sesungguhnya bukan program yang sama sekali baru. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1997 tentang Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS), barangkali menjadi embrio lahirnya kebijakan pemberian makanan tambahan untuk anak sekolah. Inpres tersebut mengatur keterlibatan 10 badan/lembaga/kementerian dan pemerintah daerah, diantaranya Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, sampai ke Gubernur dan Walikota/Bupati.
PMT-AS diberikan bukan berupa makanan utama, tetapi makanan selingan atau kudapan dengan kandungan energi 300 kkal (untuk memenuhi sekitar 15 persen dari kebutuhan energi anak sekolah) dan protein 5 gram (untuk memenuhi sekitar 10 persen dari kebutuhan protein anak sekolah).
Secara teknis, Inpres tersebut kemudian dijabarkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyediaan Makanan Tambahan pada Anak Sekolah. Sasaranpun diperluas, tidak hanya anak sekolah dasar, namun juga anak taman kanak-kanak (TK). Peraturan ini menambahkan beberapa kegiatan pendukung untuk mengoptimalkan manfaat PMT AS, seperti peningkatan ketahanan fisik, penanggulangan kecacingan, peningkatan perilaku masyarakat untuk memanfaatan pangan lokal bergizi, peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan gizi.
Berikutnya kelompok sasaran terus bertambah, misalnya Kemenkes RI pada tahun 2019 telah menyusun Petunjuk Teknis PMT Balita dan Ibu Hamil, yang dimutakhirkan pada tahun 2023 melalui Petunjuk Teknis PMT Berbahan Pangan Lokal Bagi Balita dan Ibu Hamil. Cakupan sasaran adalah balita 6-59 bulan yang bermasalah gizi, seperti berat badan tidak naik, berat badan kurang atau gizi kurang, serta ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK), yaitu bila saat pra hamil sampai usia kehamilan 12 minggu, IMT < 18,5 cm; dan berisiko KEK bila Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm.
PMT balita ditetapkan kebutuhan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), untuk energi berkisar 175-450 kkal; protein 3,5 – 18 gram. Sementara itu untuk ibu hamil diberikan minimal 120 hari dengan standar energi rata-rata 500 kkal dan protein rata-rata 25 gram.
Terlepas dari sejarah dan istilah yang digunakan, sekarang mari kita fokus pada hal-hal apa terkait dengan MBG yang telah ditetapkan menjadi kebijakan nasional dan telah diujicobakan di beberapa sekolah ini. Bagi ahli gizi, yang selama ini secara kolaboratif bersama profesi lain terlibat pada program pemberian makanan tambahan yang dicanangkan pemerintah sebelumnya, maka secara garis besar program MBG dapat ditinjau dari sudut pandang tiga kelompok utama bidang ilmu gizi.
Pertama, bidang ilmu Manajemen Penyelenggaraan Makanan (MPM); kedua, bidang ilmu Gizi Masyarakat; dan ketiga, bidang ilmu Gizi Klinik. Ketiga bidang keilmuan ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena masing-masing mempunyai kontribusi berbeda-beda yang secara bersama-sama dibutuhkan dalam mendukung terwujudnya program MBG ini.
Pada perspektif bidang ilmu MPM, MBG terkait dengan penyelenggaraan makanan mulai dari proses pengadaan/pembelian bahan pangan, penyimpanan bahan pangan, persiapan pengolahan, pengolahan/pemasakan, pemorsian, sampai penyajian makanan dan evaluasi daya terima pasien/konsumen/klien terhadap makanan yang dikonsumsi. Bidang ilmu ini berkontribusi sangat kritis pada program MBG, karena pada kegiatan pengadaan bahan sampai pada penyajian makanan, sangat menentukan mutu makanan yang diproduksi sehingga aman dikonsumsi. Dengan demikian pada bagian ini harus dipastikan pelaksanaan food safety management system yakni sistem manajemen mengenai penerapan standar pengendalian berbagai ancaman keamanan pangan, yang didasarkan pada ISO 22000. Termasuk bagaimana harus memastikan konsep hazard analysis critical control point (HACCP) yakni analisis potensi terjadinya risiko yang mengancam keamanan pangan, dengan mengidentifikasi titik-titik kritis secara detail, pada setiap proses produksi pangan baik secara fisik, kimia dan mikrobiologis.
Food safety dan HACCP ini penting untuk menghindari kontaminasi mikrobiologi seperti kasus keracunan masal atau berbagai food borne disease lainnya (seperti diare dan Hepatitis A), dan mencegah kontaminasi fisik serta bahan kimia berbahaya yang masuk ke dalam tubuh.
Selain fokus pada jaminan keamanan pangan, bidang MPM juga penting bagi penentuan menu yang sesuai kebutuhan gizi, dengan bahan pangan bervariasi, yang disesuaikan dengan potensi dan kearifan lokal di setiap daerah yang berbeda-beda.
Bila tujuan MBG adalah memberikan makanan utama pengganti makan siang, maka harus dipastikan menu mengandung sumber energi yang berasal dari protein, karbohidrat, dan lemak, yakni dengan jenis makanan lengkap yang meliputi sumber karbohidrat seperti nasi atau penggantinya, sumber protein hewani, protein nabati, sayur dan buah. Cara pengolahan juga harus diupayakan bervariasi dan sehat, tidak selalu digoreng atau bersantan kental yang berpotensi menimbulkan masalah baru berupa risiko penyakit tidak menular bila dikonsumsi dalam jangka panjang.
Bidang ilmu kedua adalah Gizi Masyarakat. Hal-hal yang termasuk di dalamnya di antaranya adalah, memastikan prevalensi permasalahan gizi masyarakat sebagai dasar perencanaan program, dan evaluasi keberhasilan program MBG secara berkala untuk mengetahui efektivitas program pada perbaikan status gizi sasaran. Selain itu juga perbaikan terhadap permasalahan atau kekurangan yang terjadi.
Data prevalensi yang diperlukan seperti prevalensi gizi kurang, gizi buruk, dan stunting pada balita dan anak sekolah; prevalensi KEK pada ibu hamil; prevalensi gizi kurang pada remaja; serta prevalensi anemia remaja putri.
Saat ini prevalensi berbagai permasalahan gizi tersebut belum mencapai target penurunan seperti yang diharapkan. Selain itu terkait dengan evaluasi keberhasilan program, dengan monitoring pertumbuhan secara berkelanjutan melalui pengukuran status gizi.
Pengukuran status gizi kelompok balita dan anak sekolah dasar melalui pengukuran antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dan mengidentifikasi stunting (pendek) menggunakan indeks tinggi badan atau panjang badan menurut umur (TB/U atau PB/U).
Pengukuran status gizi pada ibu hamil menggunakan ukuran LILA, sedangkan untuk kelompok remaja selain pengukuran antropometri dengan indeks massa tubuh (IMT) menurut umur (IMT/U), juga diharapkan dievaluasi kadar Hemoglobin (Hb) khususnya pada remaja putri. Ilmu Gizi masyarakat juga sangat kritis diperlukan untuk menghitung kebutuhan zat gizi, utamanya Energi, dan zat gizi makro (Protein, Karbohidrat, Lemak), pada setiap sasaran sesuai Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada setiap kelompok umur berdasarkan PMK Nomor 28 Tahun 2019.
Karena MBG ini diberikan pada waktu makan siang, harus dipastikan memenuhi sekurangnya 30 persen dari seluruh kebutuhan zat gizi sasaran sesuai kelompok umur. Meskipun menjadi tantangan berat, karena terkait anggaran per porsi dalam program MBG ini, namun harus tetap diupayakan. Misalnya anak sekolah berumur 7-9 tahun dengan kebutuhan energi 1650 kkal, maka sumbangan energi dari MBG sekurangnya sebesar 495 kkal, sementara itu bila kebutuhan protein sebesar 40 gram, maka sumbangan protein dari MBG sekurangnya 12 gram. Berikutnya masih menjadi ranah bidang Gizi Masyarakat adalah edukasi gizi sebagai pendukung terhadap perbaikan pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai pola makan sehat, bergizi seimbang dan praktik higiene sanitasi.
Bidang ilmu ketiga adalah Gizi Klinik, meskipun MBG dilaksanakan berbasis komunitas, namun pendekatan ilmu Gizi Klinik masih masuk dalam koridor keterkaitan dengan efek makanan terhadap kondisi fisiologis sasaran, karena sasaran adalah kelompok yang dalam kategori sehat, namun demikian tetap perlu diantisipasi karakteristik individu yang menentukan tingkat metabolisme zat gizi dalam tubuh, termasuk kajian mengenai interaksi antar zat gizi, mekanisme terjadinya alergi dan cara penanganannya, sasaran dengan penyakit kronis bawaan, sasaran dengan kondisi yang perlu dirujuk (anemia berat dan penyakit penyerta lain); sasaran dengan pantangan makan atau vegetarian atau yang menjalani diet pembatasan makanan secara ketat.
Berdasarkan ketiga bidang ilmu gizi tersebut, kontribusi perguruan tinggi yang mempunyai Program Studi Gizi terhadap program MBG, dapat diwujudkan melalui Tri Dharma PT, yakni: a. Pendidikan (melalui proses pembelajaran yang mendorong lulusan untuk terampil dalam tiga bidang utama ilmu gizi); b. Penelitian (mengidentifikasi tema-tema penelitian terkait tiga bidang ilmu, misalnya evaluasi daya terima MBG pada anak sekolah; evaluasi kesesuaian menu dengan kebutuhan gizi pada anak sekolah; uji keamanan pangan pada produk pangan untuk MBG; identifikasi titik kritis risiko keamanan pangan dan pencegahannya; analisis determinasi pada faktor-faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan program MBG; riset dan pengembangan berbagai media edukasi berbasis IT); c. Pengabdian Masyarakat (misalnya edukasi pola makan sehat untuk meningkatkan prestasi belajar anak sekolah; edukasi higiene sanitasi pada anak sekolah untuk mendukung optimalisasi MBG; pelatihan keamanan pangan pada penjamah makanan).
Menyimak ringkasan eksekutif dalam final report dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Oktober 2024, mengenai MBG yang akan dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang (2024-2029), dengan sasaran, anggaran dan keterlibatan berbagai pihak yang sangat besar, maka harapan untuk pelaksanaan MBG dari perspektif ilmu gizi adalah, perlunya pengawasan dan monitoring yang tersistem dengan baik, melekat dan berkelanjutan, mencakup jaminan keamanan pada setiap proses produksi makanan; kesesuaian kebutuhan zat gizi pada setiap kelompok sasaran; kesesuaian kandungan zat gizi sesuai kontribusi makan siang terhadap seluruh kebutuhan gizi sasaran; keberagaman menu yang mengandung sumber zat gizi lengkap sebagai makanan utama; memastikan ketepatan sasaran (tidak dimakan pihak lain yang tidak menjadi target program); memastikan tidak ada diskriminasi pelaksanaan MBG karena perbedaan wilayah; memastikan kerjasama multisektor yang terkait dengan MBG berjalan dengan semestinya; mengupayakan keterlibatan UMKM sebagai penyedia bahan pangan atau pengelola produksi dan distribusi pangan; mengupayakan potensi lokal sebagai upaya pemanfaatan sumber bahan pangan yang berkualitas dan terjangkau harganya; melibatkan ahli gizi dalam pelaksanaan MPM termasuk dalam mengevaluasi keberterimaan terhadap produk makanan dari berbagai aspek (jenis menu, porsi, rasa, tekstur, aroma, warna); dan mengevaluasi peningkatan status gizi pada setiap kelompok sasaran.
Bila semua pengawasan pada setiap aspek ini dilakukan dengan baik, maka program MBG ini dapat menjadi salah satu harapan untuk mendukung terwujudnya Visi Indonesia Emas 2045. Selamat Hari Gizi Nasional 2025, pilih makanan bergizi untuk keluarga sehat.