REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Keberadaan sungai memiliki banyak sekali manfaat bagi masyarakat. Selain menjadi bahan baku air minum, sumber irigasi, sumber pembangkit tenaga listrik, menampung dan mengalirkan air hujan, sarana transportasi, pusat ekosistem serta mampu mencegah banjir. Namun terkadang sungai sering dijadikan lokasi pembuangan sampah dan limbah rumah tangga hingga limbah industri yang menyebabkan sungai menjadi kotor dan tercemar oleh bakteri dan senyawa logam berat.
Secara alamiah, sungai dan danau memiliki sistem filtrasi alamiahnya sendiri. Ketika limbah atau senyawa lainnya dibawa dari hulu ke hilir, aliran sungai akan meningkatkan kualitas air sampai ke hilir. Tetapi karena akumulasi logam berlebihan dan adanya sedimentasi, pencemaran tersebut menumpuk di beberapa titik dan tidak dapat difiltrasi secara alami.
Begitupun dengan kondisi sungai Sungai Code Yogyakarta. Menurut hasil penelitian Dosen Geografi UGM, Dr Lintang Nur Fadlillah, air Sungai Code saat ini memiliki kandungan senyawa logam yang sangat tinggi. Hal itu diketahui setelah ia dan tim mengumpulkan 24 sampel air permukaan sepanjang Sungai Code Yogyakarta, termasuk sepanjang aliran sungai Merapi hingga muara pantai.
"Kalau kita lihat sedimen di Jogja ini memang kandungan logamnya tinggi. Kita mengambil sampel pada limbah bengkel yang langsung dibuang ke sungai," kata Lintang memaparkan hasil penelitiannya, Jumat (22/3/2024).
Tak hanya menentukan kualitas dan kandungan sedimen Sungai Code, riset ini turut memetakan sebaran titik penumpukan limbah dan sumber polutannya. Selain kandungan logam berat, kata Lintang, pihaknya juga menemukan adanya kandungan antibiotik yang berlebihan. Padahal kandungan antibiotik berlebihan tersebut bisa mempengaruhi terhadap kualitas air sungai. Kandungan antibiotik di lingkungan Sungai Code ini terakumulasi dari banyak sumber, seperti dari limbah rumah sakit, limbah kimia, bahkan dari limbah peternakan.
Menurut Lintang, tingginya kandungan logam dan antibiotik berlebihan di Sungai Code ini ditengarai akibat sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang masih lemah. Meski mayoritas limbah di sungai yang ada di Yogyakarta tidak berasal dari pabrik atau industri besar, melainkan dari rumah tangga dan usaha domestik mikro dan menengah.
Lintang merekomendasikan agar pemerintah daerah turut memberikan perhatian serius pada pengelolaan IPAL di Kota Yogyakarta. Sebab sistem IPAL berperan penting dalam mengatasi masalah pencemaran air sungai. Sementara ini pengawasan IPAL untuk industri makro, seperti pabrik dan perhotelan sudah memiliki ketentuan ketat, namun untuk skala mikro seperti limbah rumah tangga belum dilakukan secara maksimal.
"Tidak banyak desa di Yogyakarta yang secara aktif memiliki sistem IPAL, karena keterbatasan sumber daya dan perhatian masyarakat akan lingkungan yang masih minim," kata Lintang yang memaparkan penelitian untuk memperingati Hari Air Sedunia yang jatuh pada 22 Maret 2024.
Ia mengkhawatirkan apabila sungai terus tercemar oleh logam berat dan residu antibiotik maka bisa beresiko apabila dikonsumsi oleh masyarakat. Bahkan dalam beberapa kasus, air tercemar juga menjadi penyebab munculnya kasus stunting pada anak-anak. Padahal Pemerintah berkomitmen untuk mencapai target poin Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-6, yakni akses air bersih dan sanitasi. "Untuk itu, UGM turut berupaya dalam mendukung implementasi riset untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, salah satunya dengan memperhatikan kualitas air yang dikonsumsi," katanya.