REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Pergerakan zaman dan perubahan pola interaksi sosial yang hari ini menuntut terbukanya segala aspek sebenarnya membuat perspektif Islam Wasathiyah relevan untuk selalu dibicarakan. Pemahaman ajaran Islam yang moderat adalah sesuai dengan cita-cita pendirian Indonesia sebagai negara yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi menjelaskan bahwa dalam Islam yang moderat atau Islam Wasathiyah dikenal dua prinsip, yakni at-tawazun dan at-tasamuh. Keduanya menjadi penopang pemikiran Islam kontemporer yang cenderung inklusif dan mengedepankan moderasi dalam beragama.
"At-tawazun adalah sikap seimbang dan proporsional dalam memandang berbagai hal, termasuk perbedaan pendapat dan agama. At-tawazun juga berarti menghindari sikap ekstrem dan fanatik, baik dalam beragama maupun dalam kehidupan sosial," jelas Kiai Ahmad Zubaidi di Jakarta, Kamis (7/12/2023).
"Sementara at-tasamuh adalah sikap toleransi dan saling menghormati antarumat beragama. At-tasamuh juga berarti mengakui dan menghargai perbedaan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan," katanya.
Menurutnya, kedua prinsip ini menjadi konsekuensi logis dalam penerapan Islam Wasathiyah. Sangatlah jelas bahwa Islam mengajarkan toleransi, sebagaimana yang diajarkan dalam Alquran di surat Al-Kafirun, lakum diinukum wa liya diin, yang berarti “bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Petikan surat ini telah menjadi garis batas yang jelas dan menggambarkan sikap Islam terhadap ajaran agama yang berbeda.
Ia melanjutkan bahwa pada tatanan perspektif keyakinan dan keimanan, Islam telah secara tegas menentukan sikapnya. Namun dalam perspektif sosial dan perspektif muamalah, seharusnya umat tidak terpisah karena sekat atau batas tertentu hanya karena berbeda agama. Islam yang moderat bukan berarti saling bertukar akidah dengan umat lain, tapi walaupun ada perbedaan keyakinan, umat tetap bisa saling berhubungan dengan baik.
"Saya kira penting sekali pemahaman Islam yang moderat terus dikembangkan kepada umat Islam di Indonesia, supaya pandangan mereka senantiasa inklusif. Konsep inklusivitas itu sendiri sebenarnya bukanlah sebuah suatu sikap yang dibuat-buat, akan tetapi sudah dari permulaannya Islam itu inklusif. Ia dapat menerima dan hidup berdampingan dengan agama lainnya," jelas Kiai Ahmad Zubaidi.
Ia mengambil contoh dari kisah hidup Rasulullah SAW. Ketika Nabi pergi hijrah dan sampai di kota Yastrib, Rasulullah membentuk sebuah negara yang namanya negara Madinah. Di dalamnya ada pemeluk Islam, Nasrani, dan Yahudi yang hidup saling berdampingan.
Di masanya, Rasulullah memimpin Madinah tanpa membeda-bedakan antar agama yang ada. Bahkan untuk menjamin adanya kehidupan yang baik di antara agama-agama yang ada di Madinah kala itu, Rasulullah SAW membuat sebuah perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Madinah.
"Perjanjian atau Piagam Madinah dikenal juga dengan istilah Shohifah Madinah. Beberapa sumber juga menyebut dengan nama Traktat Madinah atau Madinah Charter. Intinya dari perjanjian ini adalah untuk melambangkan bahwa di zaman itu, Madinah telah berhasil menjadi negara yang sangat plural dalam menjamin kehidupan beragama rakyatnya," ungkapnya.
Ia menguraikan, pentingnya sikap toleransi bahkan dituangkan dalam Piagam Madinah di pasal pertamanya yang berbunyi innahum ummatun wahidah, mereka adalah umat yang satu. Pernyataan ini jelas sama dengan esensi dari Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Semangat inilah yang seharusnya menginspirasi rakyat Indonesia dalam menerapkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
Lebih lanjut, KH Ahmad Zubaidi menerangkan, fakta sejarah menunjukkan bahwa dalam mendirikan negara Indonesia ini, para pendiri bangsa Indonesia membuat UUD 1945. Menurut penelitian Prof Ahmad Sukarja, UUD 1945 sebenarnya mirip dengan Piagam Madinah.
“Undang-Undang Dasar 1945 itu secara substansi mirip dengan piagam Madinah. Tentu ini bukan kebetulan semata, saya kira memang para pendiri bangsa kita sudah mempelajari itu dan kemudian menginspirasi mereka dalam pembentukan UUD 1945 sebagai dasar negara kita,” kata KH Ahmad.
Selain itu, katanya, pemikiran Islam moderat memandang sikap toleran sebagai barometer keimanan pada seorang Muslim. Semakin kita menyatakan diri sebagai orang yang punya iman yang kuat, maka besar tanggung jawabnya untuk mengedepankan toleransi dalam kesehariannya.
Karena itu, menjadi suatu hal yang mustahil jika kemudian ada orang yang merasa kuat imannya namun ia menjadi semakin eksklusif dan intoleran terhadap pemeluk agama lain. Kalau ada orang yang mengaku baik keagamaannya namun ia bersikap intoleran, maka ini adalah pandangan yang tidak bisa dibenarkan.
"Merupakan kebutuhan semua bahwa dalam kehidupan ini kita perlu disemangati dengan pemahaman Islam Wasathiyah. Jelas bahwa Islam sangat mendorong adanya toleransi dalam kehidupan, dan kita tegaskan untuk menolak gerakan-gerakan intoleransi atas nama agama apapun," kata KH Ahmad Zubaidi.