REJOGJA.CO.ID, SLEMAN -- Hilirisasi produk inovasi yang dihasilkan oleh para akademisi masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM Lina Choridah mengatakan adanya jarak antara industri dengan akademisi disebut masih jadi persoalan hilirisasi produk inovasi.
"Memang betul permasalahan yang ada sekarang ini bahwa antara pihak akademisi dengan pihak industri itu kan masih ada gap (jarak) yang cukup besar," kata Lina dalam konferensi pers di Grha Sabha Pramana (GSP UGM), Sleman, Kamis (21/9/2023).
Lina mengatakan ada banyak dosen yang memiliki inovasi dan ide-ide yang cemerlang, namun tak sedikit terhenti dalam bentuk prototipe. Sehingga seringkali banyak inovasi tidak berlanjut dan terhenti begitu saja.
"Misalnya mereka menulis jurnal menyampaikan bahwa mereka punya produk,tetapi untuk kelanjutannya kemanfaatan yang lebih besar itu memang masih banyak menghadapi kendala," ucapnya.
Demikian juga dengan pihak industri alat kesehatan yang didesak dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang mengharuskan produk kesehatan berasal dari produksi anak negeri. Melalui kegiatan Health Research & Innovation Expo (HRIE) 2023 yang sedang digelar FK-KMK di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM pada 21-22 September 2023 diharapkan bisa menjembatani persoalan tersebut.
"Jadi memang kita berharap dengan adanya HRIE itu bisa menjadi jembatan antara kedua pihak apakah itu hilirisasi dimana dari dosen yang memiliki ide-ide yang memiliki prototipe itu bisa difasilitasi oleh industri, atau sebaliknya industri sering kali mereka sudah membuat suatu produk, tapi bagaimana validitasnya itu belum diujikan. Dari pihak fakultas nanti akan menjembatani tersebut jadi akan bisa membantu untuk melakukan uji-uji, uji materi," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Unit LERES FK-KMK UGM, Hanggoro Tri Rinonce mengungkapkan salah satu contohnya yaitu inovasi yang dikembangkan dosen FK-KMK terkait Bonegraft berbahan dasar cangkang telur 'Osteogrin' yang berfungsi untuk mengisi defek pada tulang akan digunakan untuk membantu proses penyembuhan tulang. Inovasi tersebut dinilai menawarkan harga yang lebih terjangkau daripada produk yang sudah jadi.
"Itu kalau diawal prototipenya sudah ada, tetapi mau jualan itu mengalami kesulitan karena statusnya dosen, tidak punya resource yang cukup untuk produksi masal," kata Hanggoro.
"Kalau sudah jualan kalau ada order minta seratus dosennya buat sendiri kan tidak mungkin, sehingga disitu perlu kerja sama antara institusi dengan industri untuk mewujudkan barang jadi yang bisa dimanfaatkan masyarakat," kata dia menambahkan.