REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Yogyakarta menyatakan peningkatan intensitas kegempaan akibat aktivitas Sesar Opak atau patahan yang membentang di tengah Daerah Istimewa Yogyakarta masih dalam kategori normal.
Kepala Stasiun Geofisika Kelas 1 Sleman Setyo Aji Prayudi saat dihubungi di Yogyakarta, Selasa, mengatakan, pihaknya terus memonitor aktivitas gempa bumi di DIY, termasuk yang bersumber dari Sesar Opak selama 24 jam melalui sembilan sensor.
"Kenapa saya bilang dalam kategori normal? Karena DIY-Jateng dan selatan DIY memang zona aktif gempa. Artinya, gempa bisa terjadi kapan saja," kata dia.
Aji mengakui berdasarkan hasil analisis rekaman gempa yang tertangkap sensor milik BMKG menunjukkan bahwa intensitas gempa bumi yang bersumber dari Sesar Opak mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir.
"Kalau kita lihat dari data seismisitas, data kegempaan beberapa tahun ke belakang (2022, 2021, 2020 dan seterusnya), kita lihat lima tahun terakhir kurvanya cenderung meningkat," ujar dia.
Kegempaan tersebut rata-rata memiliki kekuatan dengan kategori kecil di bawah magnitudo 5.0, sehingga hanya bisa terbaca alat pendeteksi gempa alias tidak bisa dirasakan manusia.
Pemicu peningkatan kegempaan tersebut, kata dia, antara lain akibat rilis akumulasi energi Sesar Opak yang hingga kini masih aktif.
Meskipun rata-rata magnitudonya kecil, dia menyebut, kejadian itu sebagai indikasi bahwa daerah-daerah itu merupakan daerah gempa.
Berdasarkan data hasil monitoring Stasiun Geofisika Kelas I Sleman selama lima tahun terakhir, tercatat 136 kejadian gempa bumi di DIY pada 2018, kemudian meningkat menjadi 144 kejadian pada 2019, 160 kejadian pada 2020, 282 kejadian pada 2021, dan 902 kejadian pada 2022.
Kegempaan tersebut bersumber dari aktivitas Sesar Opak dan sebagian dari subduksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia.
Semakin meningkat intensitas gempa bumi di daerah lintasan Sesar Opak, kata Aji, justru lebih baik, karena mengurangi potensi munculnya gempa berkekuatan besar.
"Secara teoretis dengan banyaknya gempa yang terjadi itu kan ada rilis energi yang dikeluarkan dibanding energi yang terakumulasi justru ketika terjadi gempa, gempanya besar. Jadi, dengan adanya gempa-gempa kecil pada dasarnya membantu mengurangi gempa besar," kata dia.
Meski waktu kejadian gempa tidak dapat diprediksi, Aji mengakui Sesar Opak memiliki potensi memicu gempa dengan magnitudo hingga 6,5 atau gempa merusak seperti yang pernah terjadi pada 2006.
Ia meminta berbagai informasi terkait aktivitas gempa di kawasan Sesar Opak tersebut tidak membuat masyarakat panik, sebaliknya perlu direspons dengan peningkatan kewaspadaan, kemampuan mitigasi, serta membuat bangunan dengan konstruksi tahan gempa.
"Poinnya adalah masyarakat di DIY atau masyarakat di sekitar Sesar Opak lebih waspada, dalam artian paham konsep mitigasi gempa bumi, paham konsep evakuasi mandiri, sehingga diharapkan kalau pun terjadi dampaknya tidak terlalu signifikan," ujar dia.
Staf Stasiun Geofisika Kelas I Sleman Ayu K. Ekarsti menambahkan, selain pemantauan melalui sensor, BMKG juga menyelidiki bagaimana aktivitas Sesar Opak melalui riset dengan sejumlah perguruan tinggi menggunakan studi tomografi, kajian seismisitas, pengamatan GPS, dan sejumlah metode lain.
Berdasarkan penelitian yang terus dilakukan BMKG, kata dia, hingga kini belum bisa dinyatakan adanya patahan baru di sekitar Sesar Opak yang membentang di sebagian Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Gunungkidul, dan sebagian wilayah Kota Yogyakarta. "BMKG sampai saat ini belum bisa memberikan statemen adanya patahan baru," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut mulai tampak adanya gejala peningkatan aktivitas kegempaan akibat Sesar Opak.
Menurut dia, mitigasi bencana besar dari Sesar Opak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) harus terus dilakukan, sebab sesar yang memiliki magnitudo tertarget M 6,6 dan sumber gempa subduksi lempeng atau megathrust dengan magnitudo tertarget M 8,7 di selatan Jawa ini masih terus aktif.
"Jadi, tidak boleh berhenti upaya mitigasi dan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat, khususnya yang tinggal di wilayah pesisir, karena ancaman tsunami juga menghantui selain gempa bumi," kata Dwikorita melalui siaran resmi BMKG.