REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Notaris sekaligus pengamat perkoperasian Dewi Tenty Septi Artiany menerbitkan buku terbarunya berjudul 'Gelombang Pasang Koperasi Simpan Pinjam Indonesia'. Buku ini merupakan hasil refleksi Dewi atas kondisi perkoperasian di Indonesia saat ini yang menimbulkan ambiguitas dan kebingungan tentang arah koperasi ke depannya.
Sebagai seseorang yang sudah berkecimpung di dunia perkoperasian selama kurang lebih 19 tahun, Dewi berhasil merangkum secara komprehensif mengenai situasi perkoperasian di Indonesia dalam enam bab.
Mulai dari penguraian sejarah perkoperasian dunia, perkoperasian di Indonesia, situasi Koperasi Simpan Pinjam di Indonesia, masalah yang membelit koperasi di masa pandemi, hingga diakhiri dengan rekomendasi Dewi untuk mengembalikan jargon ‘soko guru perekonomian nasional’ bagi koperasi yang kini sudah berjalan selama tujuh dekade.
Buku setebal 268 halaman ini menjadi buku ke-5 yang ditulis Dewi yang mengangkat tema pasang surut regulasi koperasi yang berimbas kepada eksistensi koperasi di Indonesia. Lebih spesifik, lulusan Doktoral Universitas Padjajaran ini membedah karut-marutnya situasi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di Indonesia.
Tak dapat dipungkiri, saat ini, berbagai koperasi yang memakai label ‘simpan pinjam’ kerap kali bermasalah, seperti kredit macet, gagal bayar, investasi bodong, hingga berujung pada kepailitan.
Oleh karena itulah Dewi mengatakan bukunya diberi judul 'Gelombang Pasang Koperasi Simpan Pinjam Indonesia' yang memiliki makna ‘merusak’ oleh terpaan gelombang pasang KSP. Dewi mengibaratkan gelombang pasang tersebut seperti ombak pasang di pantai.
Hal itu disampaikan Dewi dalam acara peluncuran bukunya yang diselenggarakan Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca, dan Pemikir (Kelompencapir) pada Diskusi ke-42 di Tamarind & Lime, Senopati, Jakarta Selatan, Kamis (27/7/2023).
"Kalau kita lagi di pantai berada dalam suatu gelombang pasang, yang ada kita masuk angin. Sementara, setelah gelombang pasang akan ada surut. Pada saat surut kita tenang, duduk, melihat pantai," kata Dewi.
Menurut Dewi, koperasi merupakan aset bagi masyarakat Indonesia yang harus dikelola dengan baik. Sebab, ia mengatakan, Indonesia merupakan negara yang memiliki koperasi terbanyak dengan total 127 ribu unit koperasi. Dewi berharap, dengan kehadiran para pemangku kebijakan di acara peluncuran bukunya itu dapat memperbaiki masa depan koperasi di Indonesia.
"Itu luar biasa kalau mau dijadikan aset. Tapi kalau mau dijadiin asesoris saja ya terserah. Makanya sekarang kita panggil semua elemen masyarakat untuk melihat ini barang mau diapain. Jadi jangan berhenti di DPR, di pengamat, di saya, penulis. Ini adalah waktunya kita bergerak bersama-sama untuk menjadikan koperasi ini kembali kepada maunya apa," katanya.
Lebih lanjut, Dewi menilai kekacauan dari munculnya KSP bermasalah ini juga disebabkan oleh para notaris yang hanya memikirkan profit tanpa melihat siapa client-nya. Menurut Dewi, hal ini berimplikasi pada lolosnya KSP bermasalah hingga berimbas pada kerugian nasabah.
"KSP-KSP yang bermasalah itu bukan pada koperasinya, tetapi pengusaha koperasi yang mempergunakan koperasi sebagai cangkang. Orang koperasinya mah baik-baik, tetapi masalahnya adalah ‘dipelintir’ sedemikian rupa," tutur Dewi.
Ia pun berharap, dengan terpaan gelombang pasang KSP bermasalah saat ini, para perumus kebijakan dapat melihat situasi yang semestinya dibutuhkan oleh para pegiat koperasi. Sehingga, pada akhirnya, hal ini juga berdampak positif bagi masyarakat Indonesia.
"Saya punya harapan, setelah amburadulnya koperasi diterjang dengan delapan koperasi yang katanya merugikan masyarakat Rp 26 triliun, Insya Allah dengan adanya bapak-bapak di sini yang akan mengatur UU Koperasi seperti apa, itu Insya Allah akan tenang dan kita akan menikmati keindahannya saja," kata Dewi.