REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta melalui UPT Laboratorium Lingkungan Hidup menyebut bahwa hampir semua air sumur dan juga seluruh sungai yang mengalir di Kota Yogyakarta tercemar.
Kepala UPT Laboratorium Lingkungan Hidup, DLH Kota Yogyakarta, Sutomo mengatakan, program yang dilakukan untuk perbaikan kualitas air terus dilakukan di Kota Yogyakarta. Bahkan, program-program tersebut dilakukan lintas instansi.
Meski begitu, Sutomo menyebut bahwa dalam mengatasi permasalahan kualitas air di Kota Yogyakarta ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Namun, seluruh elemen masyarakat juga harus sadar akan pentingnya menjaga kualitas air.
"Tentu saja karena ini problemnya bukan hanya Pemkot (Yogyakarta), kita terus berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk sosialisasi dan edukasi secara masif kepada masyarakat," kata Sutomo kepada Republika, Senin (8/5/2023).
Air sumur maupun air sungai di Kota Yogyakarta tercemar oleh E-coli, bahkan hingga Nitrat (NO2) dan fosfat. Sutomo menyebut, tercemarnya air ini sebagian besar dikarenakan saluran limbah septic tank yang dibangun berdekatan dengan sumur, dan juga masih adanya masyarakat yang membuang limbah ke sungai.
"Soal sampah juga kita terus gencar mendorong warga mengolah dengan baik. Jadi, kalau penanganannya tidak baik, juta dapat mencemari air tanah kita," ujar Sutomo.
Sutomo menjelaskan, untuk air sumur atau air tanah, Pemkot Yogyakarta menggencarkan program agar setiap rumah yang terkoneksi dengan jaringan saluran air limbah (SAL) yang muaranya dikelola di Sewon, Kabupaten Bantul.
"Makanya kebijakan Pemkot itu, semua rumah warga Kota Yogya yang di depannya ada jaringan SAL, ya mereka diharapkan untuk bisa menyambung ke sana (ke Sewon)," jelasnya.
Sedangkan, untuk warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai, juga dibuatkan IPAL (instalasi pengolahan air limbah) komunal. Hal ini diharapkan agar warga tidak membuang limbahnya ke sungai, yang mana dapat memperparah pencemaran air sungai.
"Ada solusi pemerintah membuat IPAL-IPAL komunal di sepanjang bantaran sungai, yang dia bisa mengakomodir kebutuhan di tanah yang elevasinya rendah, sehingga warga juga tidak perlu membuat septic tank masing-masing. IPAL komunal ini juga untuk mengurangi beban sungai, karena kalau tidak dibikin IPAL komunal, otomatis warga akan membuang ke sungai," kata Sutomo menambahkan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta dan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DIY juga menyebut bahwa di Kota Yogyakarta hampir seluruh air sumur tidak layak konsumsi. Selain itu, kualitas air sungai dan embung yang tercemar melewati batas baku mutu.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi yang diberikan oleh WALHI Yogyakarta dan FPRB DIY untuk mengatasi permasalahan air ini. Direktur WALHI Yogyakarta, Gandar Mahojwala mengatakan, rekomendasi pertama yakni menghilangkan hambatan pengelolaan air guna pemenuhan kebutuhan darurat masyarakat atas air.
Kedua yakni melakukan perbaikan pengelolaan air secara terpadu, baik IPAL, drainase, resapan, dan layanan air di Yogyakarta. Rekomendasi ketiga yakni dengan memasok air bersih darurat dengan memperhatikan kebutuhan air masyarakat.
"Keempat dengan melakukan penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran tata ruang, serta tindak pencemaran dan kerusakan lingkungan," kata Gandar belum lama ini.
Selain melakukan perbaikan perbaikan air secara terpadu, WALHI Yogyakarta dan FPRB DIY juga mendesak pemerintah agar memberikan akses air bersih untuk masyarakat yang paling rentan. Terutama, saat ini kondisi air dan pengelolaannya telah pada tingkat yang memprihatinkan.
Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY belum berkomentar terkait hal ini. Republika sendiri sudah mencoba untuk menghubungi Kepala DLHK DIY, Kuncoro Cahyo Aji sejak Senin (8/5/2023) kemarin, namun belum berhasil mendapatkan keterangan.
"Saya baru pelatihan, kalau berkenan nanti sekitar jam 13.00 WIB, bisa?," kata Kuncoro saat dihubungi Senin (8/5/2023) kemarin.
Hingga waktu yang dijanjikan, Republika kembali menghubungi namun tidak direspons. Bahkan, pada Selasa (9/5/2023) ini, Republika kembali menghubungi yang bersangkutan, namun tetap tidak ada balasan.