Oleh : Dr. M. Nurdin Zuhdi, S.Th.I., M.S.I.*
REJOGJA.CO.ID, Tahun ini terjadi perbedaan perayaan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriyah antara pemerintah dan beberapa ormas Islam. Perbedaan ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi di Tanah Air. Jangan sampai perbedaan ini menimbulkan perpecahan dan kegaduhan.
Perbedaan ini harus disikapi sebagai sebuah keberkahan. Dengan demikian perbedaan perayaan hari raya bukanlah sebuah musibah, melainkah anugerah. Karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejatinya terlahir dari keberagaman.
Untuk mewujudkan kebersamaan dan persatuan di tengah keberagaman langkahnya adalah dengan mencari titik temu persamaan. Jika yang dicari adalah perbedaannya, maka hanya akan menumbulkan kerenggangan.
Mari kita cari titik persamaannya. Misal, perbedaan penggunaan metode penetuan awal bulan syawal jangan sampai membuat antar umat saling bermusuhan. Toh, masih sama-sama satu iman dan sama-sama satu bangsa. Contoh perbedaan kecil tersebut jangan sampai dibesar-besarkan hingga mengganggu ketidakharmonisan.
Menerima dan Menghormati
Keberagaman ini harus kita terima dan kita rayakan. Karena hakikat manusia dilahirkan penuh dengan keragaman: ragam agama, suku, bahasa, budaya, adat, makanan dan lain-lainya. Binatang dan tumbuh-tumbuhanpun diciptakan dalam bentuk yang beragam. Di bumi pertiwi Indonesia, keberagaman adalah bagian dari indentias bangsa.
Keberagaman bukan hanya tentang perbedaan. Namun konsep keberagaman adalah mencakup penerimaan dan penghormatan. Menerima bahwa umat manusia dilahirkan dalam wujud yang berbeda-beda. Penghormatan dalam arti bahwa manusia harus saling menghargai satu sama lain.
Bukankah Alquran telah menegaskan, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal." (QS Al-Hujarat: 13).
Saling mengenal (ta’aruf) ini tidak mungkin bisa terwujud tanpan dilandasi saling menghargai dan menghormati satu sama lain. Sebagai elemen bangsa saling mengenal satu sama lain sangat penting. Karena dengan saling mengenal maka kita akan saling memahami. Dengan saling memahami kita akan hidup berdampingan secara rukun dan damai.
Keragaman adalah mutlak rahmat dari Tuhan. Memaksa yang berbeda harus sama dengan diri kita dalam semua hal berarti melawan ketentuan Tuhan. Bukankah Tuhan telah menegaskan bahwa "..Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua?" (QS Yunus [10]: 99).
Dalam memeluk agamapun tidak ada paksaan. Semua harus dilandasi kerelaan, bukan memaksakan (QS Al-Baqarah [2]: 256). Sebagai sesama suku bangsa kita juga tidak perlu saling menyerang dan menyalahkan satu sama lain, termasuk dalam masalah penggunaan lapangan atau tempat ibadah untuk melaksanakan sholat id.
Inilah etika dalam menerima keberagaman. Tidak memaksakan kehendak orang lain. Namun, menerima dan menghormati pilihan orang lain yang berbeda dengan diri kita. Dengan sikap menerima dan saling menghormati ini, maka akan terwujud kebersamaan, persatuan, kerukunan dan kedamaian antar umat beragama di Indonesia. Sikap inilah yang saat ini benar-benar kita perlukan. Bukan hanya dalam momentum perayaan hari raya, namun juga tidak kalah penting adalah dalam menghadapi pemilu 2024 yang akan datang.
Etika Publik
Penerimaan dan penghormatan terhadap keberagaman merupkan nilai-nilai kesalehan sosial yang diajarkan oleh agama-agama di dunia. Nilai-nilai kesalehan sosial inilah yang juga diajarkan melalui puasa Ramadhan selama satu bulan penuh oleh umat Islam.
Karena hakikat puasa bukan hanya mengajarkan kesalehan individual semata, numun juga mengajarkan kesalehan sosial. Kesalehan sosial merupakan etika di ruang publik yang harus menjelma dalam kehidupan sehari-hari (practical etics). Sehingga etika bukan hanya sekedar teori yang biasa didiskusikan dalam ruang-raung akademik (theoretical ethics). Namun etika publik harus menjelma dalam kehidupan nyata sehari-hari.
Menurut Prof M Amin Abdullah (2020), ada tiga etika di ruang publik sebagai indikator kesalihan sosial. Pertama, menjaga ketertiban umum (public order). Menjaga ketertiban umum merupakan etika yang harus dijunjung tinggi sebagai warga negara yang baik. Orang yang saleh secara sosial harus menjaga ketertiban umum, yaitu patuh terhadap peraturan dan norma-norma yang berlaku.
Tidak melanggar ketentuan dan tidak membuat gaduh ditengah-tengah masyarakat, namun sebaliknya berkontribusi dan memberikan solusi. Menjaga dari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan, baik kerusakan moral, sosial dan lingkungan. Koruptor, misalnya, jelas mereka tidak menjaga public order ini.
Kedua, menjaga keselamatan publik (public safety). Keselamatan di ruang publik harus menjadi skala prioritas. Jangan sampai sikap dan berbuatan kita di ruang publik justru menimbulkan kegaduhan yang dapat mengancam dan membahayakan keselamatan orang lain. Agama juga mengajarkan bahwa orang yang baik adalah orang lain merasa aman dari gangguannya lisan dan tangannya. Dengan demikian teroris, misalnya, jelas mereka tidak mengedepankan public safety ini.
Ketiga, menjaga kesehatan publik (public health). Kesehatan publik, terlebih sepanjang hantaman wabah dalam kurang lebih tiga tahun ini, merupakan prioritas utama. Menjaga kesehatan publik juga dapat dilakukan dengan cara menumbuhkan sikap solidaritas dan empati. Saling membantu dan mengulurkan tangan adalah salah satu sikap dalam menjaga kesehatan publik.
Sebagai elemen bangsa kita harus menempatkan diri seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lainnya. Sikap ini harus dimiliki oleh seluruh elemen bangsa. Sebagaimana ungkapan Gus Dur, "tidak penting apapun agama atau sukumu, jika kamu bisa berbuat baik kepada semua orang, orang tidak akan bertanya apa agamamu."
Etika di ruang publik inilah yang saat ini benar-benar kita butuhkan dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriyah di tengah keberagaman. Saling menghormati dan saling menghargai perbedaan dalam perayaan hari raya dan dalam hal apa pun adalah langkah penting dan strategis dalam mewujudkan persatuan dan perbadamaian Indonesia.
*Dosen Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta