REJOGJA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2011-2015, Abraham Samad, menepis anggapan yang mengatakan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menguatkan institusi KPK. Menurutnya UU KPK yang berlaku saat ini justru melemahkan KPK.
"Kalau ada orang katakan bahwa UU KPK sekarang lebih menguatkan, maka saya bisa pastikan bahwa bukan menguatkan, tapi UU KPK sekarang itu didesain untuk melemahkan pemberantasan korupsi," kata Abraham, saat menjadi pemateri di Ramadan Public Lecture, Masjid Kampus UGM, Senin (27/3/2023).
Lebih lanjut, Abraham mengatakan salah satu pasal yang menunjukan bukti lemahnya KPK saat ini adalah pasal yang mengatur kedudukan KPK. Sebelum berlakunya UU KPK saat ini, kedudukan KPK merupakan mandiri dan independen.
"Kalau dulu KPK dia mandiri dan independen, jadi presiden siapa pun pada saat itu tidak bisa mengintervensi KPK. karena memang struktur model kelembagaan di dalam UU 30 2002 dia disebutkan independen dan mandiri. Lepas dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kalau sekarang memang di dalam UU nya dia berada di bawah kekuasaan rumpun eksekutif. Jadi itu salah satu kelemahan," jelasnya.
Selain itu, adanya Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terhadap para pegawai KPK juga dinilai sebagai kelemahan KPK saat ini. Menurutnya tes tersebut merupakan upaya menyingkirkan orang-orang yang berintegritas di KPK.
Selain itu dari sisi kewenangan, ada banyak perubahan di UU KPK saat ini. Salah satunya kewenangan dalam melakukan penyitaan, pemblokiran, dan penyadapan yang harus melalui izin dewan pengawas.
"Kalau ada koruptor yang mau kita sadap, kalau kita minta izin, itu kan suratnya mengalir kan bisa bocor. Siapa yang bisa jamin bahwa itu tidak bocor. Di masa lalu itu tidak ada, tidak ada mekanisme itu," ungkapnya.