Senin 28 Nov 2022 23:56 WIB

Tenaga Kesehatan di Blitar Aksi Damai Tolak RUU Kesehatan Omnibus Law

Ada 12 alasan tenaga kesehatan menolak adanya RUU Kesehatan Omnibus Law.

Sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (28/11/2022). Dalam aksinya mereka menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak pimpinan DPR agar RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Republika/Prayogi.
Foto: Republika/Prayogi.
Sejumlah tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi kesehatan melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Senin (28/11/2022). Dalam aksinya mereka menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law) dan mendesak pimpinan DPR agar RUU ini dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Republika/Prayogi.

REPUBLIKA.CO.ID,BLITAR -- Puluhan tenaga kesehatan dari berbagai organisasi profesi kesehatan di Blitar, Jawa Timur, dan yayasan lembaga konsumen Indonesia melakukan aksi damai menolak RUU Kesehatan Omnibus Law yang saat ini dalam tahap program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.

Koordinator lapangan aksi tersebut, dokter Puspa Wardhana mengemukakan, pihaknya keberatan dengan RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut, sebab di Indonesia sudah ada ada UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menjadi acuan untuk layanan kesehatan.

Baca Juga

"Kami menolak RUU Kesehatan Omnibus Law ini. RUU itu masih harus ditinjau kembali untuk penerapannya di Indonesia. Di Indonesia harus belum bisa dilakukan, karena sudah ada UU Indonesia, UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan," katanya di Blitar, Senin (28/11/2022).

Ia mengatakan, ada 12 alasan tenaga kesehatan menolak adanya RUU Kesehatan Omnibus Law tersebut. Penyusunan RUU Kesehatan Ombibus Law itu dinilai cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan organisasi profesi.

Selain itu, adanya sentralisme kewenangan Menteri Kesehatan, yakni dengam kebijakan ditarik ke kementerian kesehatan tanpa melibatkan masyarakat, organisasi profesi menciderai semangat reformasi.

Keberatan lainnya adalah pendidikan kedokteran untuk menciptakan tenaga kesehatan murah bagi industri kesehatan sejalan dengan masifnya investasi.

Adanya RUU Kesehatan Omnibus Law itu juga sarat kriminalisasi terhadap tenaga kesehatan dengan dimasukkan pidana penjara dan denda yang dinaikkan hingga tiga kali lipat.

"RUU Kesehatan Omnibus Law mengancam keselamatan rakyat dan hak rakyat atas pelayanan kesehatan yang bermutu dan dilayani oleh tenaga kesehatan yang memiliki etik dan moral yang tinggi," kata dia.

RUU Kesehatan Omnibus Law itu, kata dia, juga dinilai mempermudah mendatangkan tenaga kesehatan asing berpotensi memgancam keselamatan pasien.

RUU itu juga berpihak kepada investor dengan mengabaikan hak-hak masyarakat, hak-hak tenaga medis dan tenaga kesehatan akan perlindungan hukum dan keselamatan pasien.

Selain itu, RUU tersebut juga dinilai mengancam kesehatan bangsa serta mengkebiri peran organisasi profesi yang telah hadir untuk rakyat.

"Pelemahan peran dan independensi Konsil Kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia dengan berada dan bertanggungjawab kepada menteri (bukan kepada Presiden lagi)," kata dia.

Alasan keberatan lainnya adalah kekurangan tenaga kesehatan, dan permasalahan mal distribusi adalah kegagalan pemerintah bukanlah kesalahan organisasi profesi.

RUU ini, tambah dia, hanya mempermudah masuknya tenaga kesehatan asing tanpa kompetensi keahlian dan kualifikasi yang jelas.

"RUU Kesehatan Omnibus Law ini juga mengabaikan hak masyarakat atas fasilitas pelayanan kesehatan yang layak, bermutu, dan manusiawi," kata dia.

Aksi damai tersebut digelar di alun-alun Kota Blitar dengan bagi-bagi bunga kepada pengguna jalan. Massa juga membawa berbagai macam poster dan spanduk yang isinya penolakan adanya RUU Kesehatan Omnibus Law ini.

Aksi tersebut kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan komitmen menolak RUU Kesehatan Omnibus Law, kemudian menyerahkan ke Ketua DPRD Kota Blitar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement