Selasa 08 Nov 2022 19:09 WIB

Komitmen Pemerintah Soal Iklim Mendesak Dilaksanakan

Isu komitmen iklim yang dibawa pemerintah di forum-forum internasional cukup krusial.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Lingkungan bersih jadi salah satu dampak positif penurunan emisi karbon. (Ilustrasi)
Foto: Dok. Web
Lingkungan bersih jadi salah satu dampak positif penurunan emisi karbon. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Bencana alam yang terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan seluruh penghuni bumi sudah menghadapi darurat iklim yang harus segera direspons dengan aksi nyata. Pasalnya, bencana akibat dampak perubahan iklim seperti banjir, kebakaran hutan, hingga kekeringan kerap terjadi di mana-mana dan berdampak pada semua lini kehidupan, termasuk sumber daya pangan.

Direktur Eksekutif Satya Bumi, Annisa Rahmawati mengatakan, isu komitmen iklim yang dibawa Pemerintah Indonesia di forum-forum internasional cukup krusial. Namun ia menilai dokumen peningkatan target Nationally Determinated Contribution (NDC)  Indonesia masih memiliki sejumlah opsi kebijakan problematik.

Di sektor energi misalnya, pemerintah mengandalkan penurunan emisi dari program bahan bakar nabati B40 dengan kandungan 40 persen minyak sawit untuk campuran solar, namun masih banyak pekerjaan rumah dalam tata kelola sawit yang harus dibenahi.

Selain itu standar lingkungan dan sosial yang memastikan tidak ada perluasan lahan sawit baru di tutupan hutan dan gambut. “Termasuk memastikan keadilan bagi masyarakat, transparansi pelibatan petani kecil sawit mandiri dalam sistem dan pengelolaan,” jelasnya, Selasa (8/11/2022).

Begitu pula, tambah Annisa, untuk kendaraan listrik. Salah satu yang perlu disorot adalah kegiatan pertambangan nikel (untuk baterainya) juga harus dipastikan tidak merampas ruang hidup rakyat dan mencemari lingkungan.

Ia juga mendukung langkah pemerintah memensiunkan PLTU batubara. Ini menjadi strategi untuk mempercepat pengalihan kepada energi terbarukan.

“Namun ini justru memunculkan solusi-solusi palsu, seperti co-firing biomassa di PLTU dan B40 yang justru berpotensi memperparah krisis iklim,” tegasnya.

Karena Perpres Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres EBT) justru masih memberikan ruang bagi PLTU beroperasi sampai 2050.

Dengan kata lain, proyek PLTU masih akan terus berjalan dan menambah emisi hingga beberapa tahun ke depan. Hal ini tidak sesuai dengan situasi kedaruratan yang sedang dihadapi saat ini.

Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen mengatasi perubahan iklim melalui transisi energi, penggunaan batubara seharusnya sudah mulai dihentikan bertahap atau phaseout secepatnya.

Artinya, pemerintah tidak bisa menunggu hingga 2050, seperti yang dilakukan negara-negara lain. Komitmen pemerintah terhadap perubahan iklim harus segera diejawantahkan dengan langkah-langkah nyata, seperti mitigasi, adaptasi, serta mempersiapkan pendanaan.

Karena itu, ia mengapresiasi pernyataan Wakil Presiden, Ma'ruf Amin, yang mendesak negara-negara maju untuk menggandakan penyediaan pendanaan iklim kolektif mereka untuk adaptasi iklim bagi negara-negara berkembang.

Hal tersebut dapat diperkuat melalui peta jalan yang konkret, termasuk pengaturan pendanaan pada kerugian dan kerusakan (loss and damages) yang akan didirikan berdasarkan Kerangka Kerja UNFCCC.

Dengan demikian, seluruh stakeholder termasuk sektor swasta juga mesti berkontribusi, korporasi juga harus diminta pertanggungjawaban atas emisi yang dikeluarkannya.

“Sehingga bebannya tidak hanya pada negara, tetapi semua pihak turut terlibat,” ungkap mantan Senior Forest Campaigner Greenpeace Southeast Asia ini.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement