Senin 31 Oct 2022 16:49 WIB

Gangguan Ginjal Akut, Jangan Tunggu Gejala Berat

Kasus tersebar di 26 provinsi dengan terbanyak di DKI Jakarta.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Gangguan Ginjal Akut, Jangan Tunggu Gejala Berat (ilustrasi).
Foto: Republika
Gangguan Ginjal Akut, Jangan Tunggu Gejala Berat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Dunia kesehatan dihebohkan dengan munculnya gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Per 23 Oktober 2022, dilaporkan dari 245 kasus di Indonesia 16 persen sembuh, 27 persen dalam perawatan dan 57 persen meninggal.

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII), dr Dewi Sitoresmi mengatakan, kasus tersebar di 26 provinsi dengan terbanyak di DKI Jakarta. Sebenarnya, ia menuturkan, GGAPA sudah ditemukan sejak Januari 2022.

Baca Juga

GGAPA dapat muncul pada rentang usia 0-18 tahun (mayoritas balita) dengan keluhan utama demam dan infeksi 14 hari terakhir. Saat pemeriksaan, didapatkan adanya radang ginjal tanpa pernah mengalami kelainan ginjal sebelumnya.

"Sehingga, mendapatkan diagnosis gangguan ginjal akut yang belum diketahui penyebabnya. Gagal ginjal akut anak merupakan kondisi serius, sehingga perlu tindakan yang cepat," kata Dewi dalam webinar daring FK UII, Senin (31/10).

Banyak orang tua cemas dengan berita yang beredar, terutama di media sosial. Ternyata GGAPA anak bukanlah penyakit baru dan didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara mendadak. Tandanya meliputi penurunan produksi urin.

Hal ini menyebabkan penumpukan racun di tubuh seperti ureum dan kreatinin darah. Dewi menjelaskan, penyebab GGAPA beragam mulai kekurangan cairan, pendarahan, luka bakar, gagal jantung, infeksi berat, batu ginjal dan toksin endogen. "Ethylene glycol termasuk toksin endogen," ujar Dewi.

Secara medis, standar diagnosis yang ditetapkan oleh Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO) 2012 GGAPA dibagi menjadi tiga stadium. Stadium satu ditandai dengan peningkatan kreatinin serum 1,5-1,9 kali dari kadar normal.

Urin ke luar kurang dari 0,5 mililiter per kilogram per jam selama 6-12 jam. Menyusul stadium dua, ditandai peningkatan 2-2,9 kali kadar normal kreatinin dan urin ke luar kurang dari 0,5 mililiter per kilogram per jam selama 12 jam lebih.

Kemudian, stadium tiga yang mengkhawatirkan ditandai dengan peningkatan kadar kreatinin serum sebesar tiga kali dari normal dan tidak mengeluarkan urin sama sekali lebih dari 12 jam. Saat stadium tiga, anak butuh perawatan cuci darah.

Dewi mengungkapkan, anak yang datang dengan GGAPA ke faskes biasanya sudah masuk stadium tiga, bersifat berat dan progresif dengan resiko kematian tinggi. Jika penanganan awal tidak ditangani baik, resiko jangka panjang akan ginjal kronik.

Cara memastikan anak terkena GGAPA seperti kriteria KDIGO dan monitor produksi urin. Pencarian penyebab GGAPA melalui pemeriksaan lab, pencitraan dan biopsi ginjal jika perlu. Saat anak demam, perlu pengecekan peredaran obat yang aman.

"Pastikan kebutuhan cairan terpenuhi, kompres air hangat, istirahat, konsumsi makanan bergizi dan minum obat selain sirup. Segera larikan ke RS jika ditemui urin berkurang atau tidak sama sekali, sesak, bengkak dan kejang atau penurunan kesadaran," kata Dewi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement