Rabu 05 Oct 2022 15:25 WIB

Melihat Tragedi Kanjuruhan dari Sisi Psikologi

Situasi ramai dalam stadion cenderung membuat suporter lebih reaktif.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sejumlah suporter klub sepak bola berkumpul saat doa bersama tragedi Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (4/10/2022) malam. Acara yang dihadiri oleh ribuan suporter dari sejumlah klub di Indonesia khususnya DIY dan Jawa Tengah itu sebagai bentuk solidaritas atas tragedi Stadion Kanjuruhan Malang yang merenggut nyawa ratusan orang Sabtu (1/10/2022) lalu.
Foto: ANTARA/Kalandra
Sejumlah suporter klub sepak bola berkumpul saat doa bersama tragedi Kanjuruhan di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, Selasa (4/10/2022) malam. Acara yang dihadiri oleh ribuan suporter dari sejumlah klub di Indonesia khususnya DIY dan Jawa Tengah itu sebagai bentuk solidaritas atas tragedi Stadion Kanjuruhan Malang yang merenggut nyawa ratusan orang Sabtu (1/10/2022) lalu.

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan menyisakan duka mendalam bagi insan sepak bola dunia. Kejadian itu tentu sangat mempengaruhi suporter dan orang-orang yang menjadi korban dari berbagai sisi, salah satunya psikologis.

Dosen Prodi Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Qurotul Uyun mengaku sangat prihatin atas kejadian yang menimpa dunia sepak bola Indonesia tersebut. Ia merasa, situasi ramai dalam stadion cenderung membuat suporter lebih reaktif.

Baca Juga

"Jadi, memang kalau di kerumunan itu emosinya meningkat dan identitas berubah. Dari identitas individu menjadi identitas massa," kata Qurotul, Rabu (5/10).

Pola perilaku penonton yang reaktif itu timbul dari aspek yang beragam. Salah satunya mungkin seperti permasalahan yang ada di sekitar. Apa yang dilakukan oleh segelintir penonton dapat menjadi pemicu penonton lain mengikutinya.

Qurotul menyoroti proses penanganan massa ketika terjadi yang disebut kerusuhan di Kanjuruhan. Ia merasa, langkah penyemprotan gas air mata, komando yang minim, serta instruksi yang kurang jelas membuat psikologis penonton mengalami tekanan.

Dalam ranah psikologi sosial, ketika ada pihak yang menggunakan senjata dalam situasi massa, itu dapat membuat penonton bingung dan panik. Meski begitu, saat terjebak dalam situasi yang genting, pengendalian diri menjadi teramat penting.

Hal itu untuk dapat membuat kondisi dan pikiran menjadi lebih tenang dalam bertindak. Ia menekankan, kejadian di Kanjuruhan dapat menimbulkan dampak psikologis tersendiri. Dampak psikologis terbesar dirasakan keluarga korban.

"Misalnya, seorang ibu, yang harus kehilangan anaknya ketika menonton. Hal itu akan menimbulkan trauma tersendiri bagi ibu dan keluarganya. Yang ditinggalkan akan mengalami kehilangan tiba-tiba, itu sangat berat," ujar Qurotul.

Selain itu, biasanya muncul perasaan menyalahkan diri sendiri atas peristiwa yang menimpa keluarganya. Perasaan seperti ini, seandainya ia bisa melarang keluarga untuk tidak menonton pertandingan, maka mungkin mereka masih selamat.

Jika tidak ditangani dengan baik, peristiwa itu berdampak buruk bagi pemulihan psikologis keluarga korban. Untuk menangani, perlu usaha untuk melihat seberapa besar dampak psikologis yang ada. Biasanya berupa depresi, cemas dan stress.

Kesedihan akibat peristiwa ini tentu tidak dapat dihindari. Itu jadi kewajaran bagi setiap manusia. Tapi, yang perlu diperhatikan lebih seberapa cepat dapat bangkit. Sedih itu wajar, tapi setiap orang akan ada yang cepat bangkit kembali.

"Ada pula dalam jangka waktu tertentu, dan ada yang membutuhkan waktu lebih lama, ada pula yang berlanjut menjadi gangguan psikologis," kata Qurotul.

Penanganan psikologis jadi penting ketika seseorang sulit bangkit. Ada istilah dukungan sosial yang dapat memberi penyangga bagi orang yang mengalami tekanan. Dukungan moral dari teman terdekat teramat penting di situasi segenting itu.

"Mereka butuh support psikologis dari sahabat, saya kira itu baik untuk memberikan dukungan. Mereka butuh teman untuk bercerita," ujar Qurotul.

Saat dukungan moral telah dilakukan diharap kesedihan dan trauma bisa dikurangi. Orang yang alami musibah butuh teman berbagi, didengarkan dan diberi dukungan, biasanya berangsur membaik. Menimpa ke orang yang kena musibah pada umumnya.

Tapi, mungkin pada orang tertentu, dukungan orang dekat tidak cukup membantu untuk bangkit. Karenanya, Qurotul menekankan, kemungkinan orang tersebut membutuhkan penanganan psikologis, berarti dia harus dirujuk ke psikolog.

Pada akhirnya, penanganan melalui pendekatan religius jadi sangat penting untuk dilakukan. Penting setiap orang dapat merefleksikan kehilangan. Dari peristiwa kehilangan, perlu disadari yang diharapkan orang yang sudah meninggal hanya doa.

"Bukan ratapan yang berkepanjangan," kata Qurotul.

Jadikan musibah sebagai ujian dari Allah, kembalikan semua kepada-Nya. Perbanyak istighfar, sehingga ada makna yang dapat dipetik. Bisa jadi, ujian itu yang jadi titik balik, menyebabkan orang tersebut berkembang lebih baik dari sebelumnya.

Ia berharap, dari peristiwa ini ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik untuk semua. Ke depan, pertandingan sepak bola dievaluasi, sehingga menjadi momen yang penuh sportivitas, persahabatan dan menjadi tontonan yang menghibur masyarakat.

"Sehingga, tidak terjadi tragedi seperti ini lagi. Peristiwa ini sungguh memprihatinkan dan menyedihkan," ujar Qurotul. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement