Kamis 24 Feb 2022 09:06 WIB

'Pendidikan di Indonesia Perlu Terapkan Pendekatan First Principle Thinking'

Lawan dari first principle thinking yaitu thinking by analogy

Rep: My40/My41/ Red: Fernan Rahadi
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat menyampaikan paparan pada acara #NgkajiPendidikan bertajuk
Foto: Tangkapan layar Zoom
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat menyampaikan paparan pada acara #NgkajiPendidikan bertajuk "Haruskah Dengan Kurikulum Untuk Mengubah Pendidikan Kita?" yang digelar GSM dan diikuti ratusan guru secara daring, Selasa (22/2/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru menjadi elemen yang sangat penting dan fundamental untuk membangun kecerdasan bangsa baik raga maupun jiwanya. Jiwa dalam hal ini mencakup kapasitas batin, karakter, mental, sosial, emosional dan spiritualitas.  

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, menyampaikan pendekatan baru yaitu first principle thinking, di mana pendidikan merupakan basis pertama dari mana sesuatu diketahui. Pendekatan ini menjadi penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar dari suatu objek agar kita bisa menemukan apa yang harus dilakukan setelahnya.

"Ketika bapak-ibu guru nanti tahu subjek pendidikan, prinsip paling dasar pendidikan itu apa, bapak-ibu nanti bisa menemukan sebenarnya pendekatan apa yang paling pas untuk meningkatkan pendidikan anak-anak kita," ucap Rizal, dalam acara #NgkajiPendidikan bertajuk "Haruskah Dengan Kurikulum Untuk Mengubah Pendidikan Kita?" yang digelar GSM dan diikuti ratusan guru secara daring, Selasa (22/2/2022).

Rizal juga menyebutkan, lawan dari first principle thinking yaitu thinking by analogy, yang artinya tidak menciptakan sesuatu yang memberikan lompatan nilai bagi industri atau pelanggan, apalagi mendisrupsi industri sehingga orang itu akan terjebak pada asumsi umum pemain lama. Ketika muncul kurikulum baru maka pendekatan thinking by analogy akan kesulitan dalam menerjemahkannya sehingga ia tidak tahu spirit atau ruh dari kurikulum itu sendiri.

Menurut Rizal, untuk meningkatkan kualitas pendidikan, tidak cukup hanya dengan bangunan mewah, akreditasi sekolah, ataupun perbaikan kurikulum. Pendidikan yang perlu dibangun adalah pendidikan yang memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk berkembang optimal menemukan versi terbaiknya.

"Anak bisa menemukan versi terbaiknya seandainya anak itu bisa menemukan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermakna bagi dirinya, bukan bermakna bagi gurunya atau kurikulumnya atau bahkan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dinas pendidikannya," tutur Rizal.

Diketahui, pada tahun 2022 pemerintah menggagas kurikulum baru untuk pendidikan yang dinamakan Kurikulum Merdeka. Padahal, sejak tahun 1945 hingga sekarang, perubahan kurikulum pendidikan Indonesia sudah sebanyak 13 kali.

"Hal ini menjadi pertanyaan, apakah kurikulum sebagai jawaban dari pembaharuan atau perbaikan sistem pendidikan kita?" kata Rizal.

Berdasarkan data Program for International Student Assessment (PISA), posisi Indonesia dalam hal literasi, numerasi, dan sains masih jauh di bawah negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) lainnya. Pada tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat 72 dari 78 negara se-dunia. Bahkan jika dibandingkan negara-negara ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam.

Menurut data OECD 2016, nilai The Program for the International Assessment of Adult Competencies (PIACC) Indonesia pun rendah. Nilai literasi dan numerasi yang ditujukan untuk lulusan S1 Indonesia ternyata skornya dibawah lulusan SMP di Denmark. Hal ini menurut seorang profesor dari Harvard, Lant Pritchett, merupakan keadaan gawat darurat pendidikan bagi Indonesia karena diperlukan 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement