Rabu 09 Feb 2022 16:01 WIB

Cerita Mahasiswa Gaza Sukses Merintis Studi di Indonesia

Pendidikan adalah cara terbaik bagi seseorang untuk mengubah nasib.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Mohammad Zyad Alshurafa, mahasiswa Universitas Lampung (Unila) asal Palestina yang kini berkesempatan magang di Perusahaan Education Technology SEVIMA.
Foto: dok. Istimewa
Mohammad Zyad Alshurafa, mahasiswa Universitas Lampung (Unila) asal Palestina yang kini berkesempatan magang di Perusahaan Education Technology SEVIMA.

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Situasi keamanan warga sipil yang tak menentu di Jalur Gaza menjadi hal yang memilukan bagi Mohammad Zyad Alshurafa, mahasiswa asal Palestina yang sedang berkuliah di Universitas Lampung (Unila), Lampung.

Pasalnya, rumah yang dihuni keluarganya pun tak luput dari sasaran serangan militer di Jalur Gaza pada Mei 2021 lalu cukup membuatnya terguncang dan hampir putus asa. Bahkan berhenti  melanjutkan studi dan kembali ke Gaza nyaris menjadi pilihannya.

Namun kedua orang tua Muhammad tidak sependapat dengan pilihannya tersebut. Mereka tetap mendorong dan memintanya melanjutkan studi di Indonesia, agar memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik.

Keinginan kedua orang tua inilah yang memotivasinya untuk terus bersemangat dalam belajar Ilmu Komputer di Unila. "Termasuk merantau ke Surabaya guna mulai magang di SEVIMA mulai hari ini,” ungkap Mohammad Zyad Alshurafa, Rabu (9/2/2022).

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama Unila, Prof Suharso mengungkapkan, kehadiran Mohammad di Unila bermula dari kerja sama kampus tersebut dengan Palestina. Universitas Lampung kemudian mendanai lima mahasiswa asal Palestina untuk berkuliah secara gratis.

Unila mendukung Mohammad dan kawan-kawannya dalam berjuang memperoleh studi. “Harapan kami, kedatangan Mohammad bisa mempromosikan persahabatan antar bangsa, sekaligus membantu Palestina yang sedang dalam kesulitan,” jelas dia.

Namun lanjut Suharso, perjuangan untuk menempuh studi telah dimulai Mohammad jauh sebelum datang ke Indonesia. Ia mengetahui kesempatan beasiswa ini dari selebaran yang ditempel di mading kampusnya di Gaza.

Dengan pertimbangan akan mendapatkan kualitas pendidikan di Indonesia relatif lebih baik dan nyaman jika dibandingkan di Gaza. “Maka, Mohammad rela untuk meninggalkan kuliahnya di Gaza yang sudah berjalan dua semester,” tambahnya.

Perjuangan untuk berangkat ke Indonesia, masih jelas Suharso, juga tidak mudah bagi anak ketiga dari sembilan bersaudara tersebut. Permohonan visanya sempat ditolak berkali-kali oleh otoritas Mesir maupun Israel.

Akibatnya ia terlambat mengikuti kuliah saat tiba di Lampung, pada September 2019. “Sementara, kawan-kawannya sudah mulai berkuliah sejak Februari atau satu semester lebih awal,” lanjutnya.

Muhammad menambahkan, bulan-bulan awal menjadi masa sulit yang dialaminya setelah berada di Lampung. Karena harus beradaptasi dengan cepat karena seluruh pembelajaran yang dilakukan dengan bahasa Indonesia.

Di lain pihak, kabar situasi keamanan warga sipil di Gaza masih menjadi beban baginya. Terutama saat membaca berita dari media massa seputar perang di Jalur Gaza yang tak berkesudahan.

Termasuk ketika rumah yang hancur dan keluarga yang semuanya harus dirawat di rumah sakit. “Kondisi itu sempat membuat saya mengalami banyak kesulitan untuk fokus belajar,” ungkapnya.

Ia juga mengatakan, jika masih mengalami kesulitan dalam belajar, ataupun terbayang-bayang dengan perang yang terus terjadi di kampung halamannya, ia selalu ingat dengan pesan kedua orang tuanya.

Karena ia diberikan mandat untuk mengubah nasib keluarganya dengan menjadi seorang sarjana dan berkarir di tempat yang lebih baik.

Kini setelah 17 bulan belajar di Indonesia, Muhammad sudah tidak mengalami kendala sama sekali dalam komunikasi dan pelajaran. “Alhamdulillah untuk pelajaran eksakta, nilai saya hampir seluruhnya A (sempurna) dengan IPK 3,8,” lanjutnya.

Sejalan dengan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Mohammad yang kini duduk di semester enam, magang Perusahaan Education Technology SEVIMA. Program magang ini akan dinilai setara 20 SKS, dan menantang Mohammad untuk mengerjakan proyek berbasis digital secara langsung.

Salah satu proyek yang sedang dikerjakan Mohammad saat ini, adalah menyediakan fitur tanda tangan elektronik di sistem akademik berbasis awan (Siakadcloud). Proyek ini didasari atas pengalamannya yang kesulitan saat memperoleh izin dari dosen, baik untuk penelitian maupun melakukan aktivitas lainnya.

Alasannya seringkali beragam, entah karena dosen tersebut sedang berada di luar negeri, ataupun justru harus di rumah saja karena kondisi pandemi Covid-19.

“Dengan fitur yang saya buat selama magang ini nantinya, mahasiswa tidak perlu sulit-sulit lagi cari dosen untuk izin. Dosen juga tidak perlu kesulitan menemui mahasiswa hanya untuk tanda tangan surat. Semua bisa dilakukan secara elektronik dan digital,” jelas dia.

Ia juga bertekad, ingin berkontribusi bagi kemajuan pendidikan di Palestina serta Indonesia. Karena sejalan dengan pesan orang tuanya, Mohammad yakin bahwa pendidikan adalah cara terbaik bagi seseorang untuk mengubah nasib.

Walaupun Palestina sedang dilanda peperangan, ia adalah orang yang percaya bahwa tidak boleh meletakkan tangan di bawah dan bergantung pada bantuan orang lain. “Nasib Palestina hanya bisa diubah oleh kita warga Palestina sendiri, dan salah satu caranya adalah menguasai ilmu pengetahuan,” tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement